Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta (BEM FH UAJY) menggelar forum diskusi dengan tema “Bicara Soal Negara Jangan Hanya Omon-Omon Saja!”. Forum diskusi ini dilaksanakan pada hari Selasa, 4 Maret 2025 di Kampus 1, Gedung Alfonsus (Mrican). Forum ini menghadirkan moderator Michael Halim Putra Saragih, dengan Bibianus Hengky Widhi Antoro, S. H., M. H., dan Bonaventura Pradana Suhendarto, S. H., M. H. selaku dosen FH sebagai narasumber.

Sumber: Dokumentasi Pribadi Teras Pers
Melalui posternya, BEM FH memanggil seluruh mahasiswa yang peduli terhadap bangsa untuk bergabung dalam forum diskusi mahasiswa ini. Acara dibuka dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya, dilanjutkan dengan Himne Atma Jaya, serta Darah Juang sebagai perjuangan mahasiswa atas ketidakadilan dan penderitaan yang dirasakan oleh rakyat.

Sumber : Dokumentasi Pribadi Teras Pers
Forum ini mengangkat 2 tema utama yang memantik pembahasan menjadi lebih mendalam. Tema tersebut adalah Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dilanjutkan dengan Revisi UU TNI dan UU Polri. Diskusi diawali dengan penjelasan materi, seperti Undang-Undang dari Bona, kemudian dilanjutkan pembahasan oleh Hengky. Setelah itu, mahasiswa diberi kesempatan untuk berkomentar terutama setelah tema pertama yang sangat menarik antusiasme peserta forum ini.
Makan Bergizi Gratis
Dalam diskusi yang berlangsung hangat, program Makan Bergizi Gratis di tengah kebijakan efisiensi anggaran menjadi salah satu topik yang memicu berbagai pendapat. Diskusi diawali oleh Bona yang mengatakan bahwa sasaran utama Program MBG adalah peserta didik pendidikan dasar dan menengah (usia anak dan remaja), anak usia dibawah 5 tahun, ibu hamil, serta ibu menyusui.
“Program ini perlu banyak perbaikan dari segi infrastruktur, seperti ketersediaan dapur dan fasilitas penunjang di daerah yang minim dan belum merata di seluruh Indonesia, serta butuh biaya,” jelas Bona. Beliau juga menambahkan bahwa banyaknya kasus keracunan dan ketidaksesuaian standar gizi empat sehat lima sempurna menunjukkan perlunya evaluasi terhadap kualitas makanan dari program ini.

Sumber: Dokumentasi Pribadi Teras Pers
Sementara itu, Hengky mengawali diskusi dengan mempertanyakan relevansi program MBG dalam konteks misi-misi Asta Cita Presiden Prabowo dan Wakil Presiden Gibran. Menurutnya, program ini tidak memiliki urgensi dalam persoalan utama masyarakat dan masih berjangka pendek. “Persoalan MBG bukan untuk mengatasi stunting. Masalah stunting tidak hanya dari MBG, tapi mulai dari sanitasi, kesehatan, dan sebagainya. Jadi ini hanya janji-janji politik saja,” ujar Hengky.
Salah satu mahasiswa mengusulkan agar anggaran MBG dialihkan ke program pendidikan gratis, mengingat program ini dapat menjadi bumerang bagi pemerintah dan masyarakat karena diperlukan biaya besar yang berpotensi menimbulkan inflasi. Menanggapi hal tersebut, Bona menyatakan bahwa program MBG bukan urgensi, tetapi bisa dijalankan dengan catatan pelaksanaannya diutamakan untuk daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) yang kebutuhan akan makan bergizinya lebih mendesak.
Setelah diskusi panjang, mayoritas hadirin menyimpulkan bahwa program MBG sebaiknya dihapus atau dialihkan ke sektor yang lebih urgent atau menjadi prioritas dalam masyarakat.
Revisi UU TNI dan UU Polri
Forum diskusi dilanjutkan oleh Bona, dengan pembahasan mengenai wacana revisi UU TNI dan UU Polri yang turut menjadi polemik di tengah masyarakat. Berikut poin-poin penting dari draf revisi UU TNI dan UU Polri.
Revisi UU TNI:
- TNI AD menjadi Aparat Penegak Hukum (APH)
Penambahan Pasal 8 huruf d. TNI AD turut bertugas menegakkan hukum serta menjaga keamanan di wilayah darat sesuai dengan ketentuan hukum nasional dan internasional.
- Perluasan pada Jabatan Sipil
Perubahan Pasal 47. Penambahan frasa “serta Kementerian/lembaga lain yang membutuhkan keahlian prajurit aktif sesuai dengan kebijakan Presiden”, berpotensi mengembalikan dwifungsi ABRI masa Orde Baru.
- Perpanjangan Usia Pensiun
Perubahan Pasal 53 tahun. Usia pensiun perwira menjadi 60 tahun.
- Pencabutan Larangan Berbisnis
TNI diperbolehkan melakukan bisnis untuk menambah kesejahteraan anggota TNI.
Revisi UU Polri:
- Perluasan Kewenangan Penyadapan
Perubahan Pasal 14 menambah kewenangan penyidik melakukan penyadapan langsung.
- Penambahan Wewenang di Ranah Siber
Perubahan Pasal 16 ayat (1) huruf q. Melakukan penindakan, pemblokiran, dan upaya perlambatan akses ruang siber untuk tujuan keamanan dalam negeri.
Dampak revisi ini menimbulkan potensi otoriter yang tersentralisasi, penyalahgunaan kekuasaan, bertentangan dengan semangat reformasi, dan mengancam demokrasi. Terdapat juga potensi pelanggaran UUD NRI 1945 atas Pasal 28 (kebebasan berpendapat, berkumpul, dll), Pasal 28F (berkomunikasi, perlindungan privasi, dll), dan Pasal 30 ayat (2) (TNI sebagai alat pertahanan negara).
“Revisi UU TNI dan Polri sangat kental dengan kehendak presiden dan elit yang ada di sana. Saya menyayangkan DPR sebagai wakil rakyat yang seharusnya bisa menjaga prinsip checks and balances dengan Eksekutif, tetapi sikap DPR diam saja,” ujar Bona.
Wacana revisi turut ditanggapi oleh Hendra sebagai perwakilan dari Sosiologi FISIP UAJY. “Ada perbedaan pandangan masyarakat sipil dan militer dalam konteks stabilitas negara. Kalau berbicara dari mahasiswa, standar mahasiswa yang berhasil itu waktu mendebat dosennya, tetapi standar tentara itu dia yang berhasil menjalankan tugas,” tambah Hendra.
Menurut Hengky, Indonesia baru melihat sebuah aturan yang didasari oleh multi organ single task. Upaya revisi UU saat ini digunakan oleh penguasa untuk memasukkan kebijakan baru.
“Kalau kita bicara laut, yang menjaga itu TNI, Polri, serta Kementerian Kelautan dan Perikanan. Itu sudah 3 dan muncul UU baru lagi tentang Badan Keamanan Laut,” ujar Hengky. Menurutnya, misalnya satu tugas untuk menangkap kapal asing ilegal, kemudian dikomandoi oleh keempat penguasa, justru menimbulkan overlap kewenangan hingga kapal itu dapat lolos. Di sini isu efisiensi anggaran menjadi tidak relevan dengan kondisi kabinet yang besar.
Secara konstitusi, penguasa mempunyai kunci untuk mengendalikan rakyat. Menurut Hengky, pemerintah mempunyai instrumen UU dan sanksi. Masyarakat sebenarnya dapat turut mengendalikan lewat meaningful participation. Namun, keterlibatan masyarakat selama ini hanya bersifat formalitas dan sebatas pelengkap terjadinya revisi UU.
Menurut Bona, masyarakat dapat berkaca dari persoalan DPR yang berupaya menganulir putusan syarat usia pencalonan kepala daerah oleh MK dan merevisi UU Pilkada. Namun, saat itu warga sipil langsung melakukan demonstrasi, hingga akhirnya pengesahan RUU Pilkada batal dilaksanakan oleh DPR.
Forum diskusi pun diakhiri oleh Pak Hengky dengan pernyataan yang melegakan mahasiswa. “Salah satu cara adalah lawan, turun ke jalan! Tunggu tanggalnya, tunggu waktunya, kita turun ke jalan!” ujar Hengky.
Penulis: Thedora Telaubun, Vicka Rumanti, & Shanty Hendro
Editor: Thedora Telaubun, Vicka Rumanti, & Shanty Hendro
Desain: Regina Tyestapiana