Pada perkembangan era emansipasi saat ini, perempuan mulai mendapatkan sorotan lebih besar karena masyarakat telah mengakui pencapaian dan kontribusi mereka yang semakin berani tampil di depan publik. Hal ini menunjukkan kemampuan serta peran mereka yang kian signifikan di berbagai bidang, termasuk politik. Seiring berjalannya waktu, perjuangan kesetaraan gender kini membuahkan hasil yang signifikan dengan munculnya pemimpin-pemimpin perempuan, seperti Sri Mulyani yang menjadi Menteri Keuangan pertama di Indonesia dan sudah diakui secara internasional atas perannya dalam memperkuat ekonomi negara. Selain itu, Susi Pudjiastuti sebagai mantan Menteri Kelautan dan Perikanan tahun 2014-2019, dikenal tegas dalam memberantas illegal fishing dan memperjuangkan kedaulatan laut Indonesia. Tidak lupa, Najwa Shihab sebagai jurnalis dan pendiri Narasi yang dikenal karena perannya dalam mendorong jurnalisme yang independen dan isu-isu sosial.
Peran perempuan turut mendorong kemajuan era politik dengan menunjukan keterlibatan mereka dalam mengikuti berbagai komunitas dan menjadi pemimpin. Dorongan ini kemudian diperkuat oleh program pembangunan perempuan dari pemerintah Indonesia untuk mengantisipasi adanya resiko yang mungkin dihadapi kaum perempuan di masa mendatang. Pembentukan kementerian khusus perempuan dimulai dari tahun 1978-1983 yang bernama Menteri Muda Urusan Peranan Wanita. Kementerian tersebut kemudian dimodifikasi oleh Prof. Dr. Yohana Susana Yambise, DIP menjadi Menteri Negara Urusan Perempuan tahun 1987-1988 yang beroperasi hingga saat ini dengan nama Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak tahun 2014-2019.
Sumber: KPP-PA, 2022
Data dari KPP-PA tahun 2022 menunjukkan bahwa berdasarkan jenis kelamin (warna biru sebagai pegawai perempuan dan warna merah sebagai pegawai laki-laki), jumlah pegawai perempuan terlihat meningkat signifikan. Menurut Lambertha & Rozikin (2022), perubahan ini memberikan peluang besar bagi kaum perempuan untuk mengekspresikan diri dengan berkontribusi dalam bentuk ide dan gagasan di ranah politik.
Peran perempuan di era politik saat ini penting untuk membangun pondasi kesetaraan gender, serta membawa ke arah yang lebih positif, yakni memutuskan stereotip bahwa kodrat perempuan tidak hanya pada pekerjaan rumah dan pendidikan anak, tetapi lebih dari sekadar itu. Agustin, dkk (2024) mengatakan bahwa menjadi perempuan yang terdidik di tengah peradaban modern ini, membentuk suatu privilege yang membanggakan.
Namun, kesempatan ini justru memberikan ancaman bagi pihak perempuan. Dalam dunia politik, pengaruh masculinity seseorang menjadi poin utama yang dinilai bagi kalangan penguasa atas. Drianus dalam Aboin (2019) mengatakan bahwa Maskulinitas tidak memiliki satu bentuk tunggal; sebaliknya, bersifat jamak dan tampil dalam berbagai wajah di ranah budaya, mencerminkan pluralitas dalam representasi yang dikenal sebagai plural masculinities. Drianus (2019) mengatakan bahwa untuk membahas maskulinitas tidak boleh lepas dari perspektif gender, karena hal ini masih terkait dengan konstruksi sosial. Sifat dominan yang ada dalam diri seseorang menentukan kualitas praktik sosialnya.
Stigma terhadap laki-laki menjadi salah satu faktor utama yang memengaruhi peran mereka di masyarakat. Hal ini terlihat dalam hak pengambilan keputusan, rasa kemandirian, dan kekuatan fisik yang sering kali dianggap lebih besar daripada perempuan. Keseimbangan perwakilan sangat penting untuk memastikan bahwa setiap hukum dan peraturan benar-benar mencerminkan kebutuhan seluruh kelompok. Hal ini esensial dalam mewujudkan kesetaraan politik dan keadilan sosial sebagai inti dari sistem demokrasi. Salah satu contoh kasus yang bisa kita lihat, yakni isu seksisme di ranah politik.
Dalam Pilkada Jogja 2024, isu seksisme kembali menjadi perhatian, terutama terkait bagaimana kandidat menggunakan narasi yang merugikan perempuan. Bahasa seksis merupakan representasi dari sikap seksisme sebagai paham yang merujuk pada perilaku dan kebiasaan merendahkan satu jenis kelamin terhadap jenis kelamin lainnya. Hal ini berarti bahwa seksisme adalah sikap verbal merendahkan salah satu gender melalui pernyataan yang membedakan peran atau kebiasaan antara perempuan dan laki-laki.
Seksisme merupakan hal yang kerap muncul dalam dunia politik. Berdasarkan wawancara oleh Soetjipto (2023), pada tantangan utama terkait seksisme, hampir seluruh narasumber mengakui adanya perbedaan perlakuan serta peran yang diterima antara laki-laki dan perempuan dalam ranah politik formal. Salah satu narasumber dari Partai Golkar mengungkapkan bahwa menjadi seorang perempuan dalam lingkungan politik formal yang cenderung maskulin adalah beban tersendiri, terutama jika perempuan tersebut berusia muda. Dari sini dapat dilihat bahwa pandangan dalam dunia politik masih sempit dan diskriminatif.
Seksisme terselubung dalam politik biasanya merujuk pada tindakan atau ucapan yang tampak biasa namun sebenarnya menegaskan hierarki gender. Pada akhirnya hal ini merendahkan atau mengabaikan posisi perempuan. Dalam kampanye politik, seksisme sering muncul dalam bentuk sindiran, penyampaian pesan yang melemahkan kapasitas perempuan, atau dengan menyoroti isu gender sebagai hal yang remeh. Salah satu contoh kasus dapat dilihat pada kampanye pasangan calon (paslon) Harda-Danang yang menampilkan retorika dengan halus menegaskan stereotip gender. Hal ini berisiko meremehkan suara perempuan dalam proses politik
Sumber : Kumparan.com
Baliho kampanye pasangan Harda-Danang di atas terselip seksisme dalam penyampaian pesannya. Di dalamnya tertulis,
Pemimpin Harus Laki-Laki: Kalimat Milih Imam (Pemimpin) kok Wedok, Jangan Ya Dik Ya! IMAM (PEMIMPIN) KUDU LANANG.
Tulisan ini mengandung pesan bahwa pemimpin haruslah laki-laki, dan secara implisit menganggap perempuan tidak pantas atau kurang cocok untuk posisi kepemimpinan. Dalam budaya patriarki, pandangan seperti ini sering kali digunakan untuk meremehkan potensi kepemimpinan perempuan. Ditambah penulisan kapital,
IMAM (PEMIMPIN) KUDU LANANG
yang sangat menekankan bahwa pemimpin harus laki-laki.
Penggunaan istilah “wedok” (perempuan) dan “lanang” (laki-laki) dalam konteks ini memperkuat stereotip bahwa perempuan tidak memiliki kualitas yang layak untuk menjadi pemimpin. Dengan menonjolkan bahwa “pemimpin harus laki-laki,” pesan kampanye ini berpotensi memengaruhi persepsi publik, terutama pemilih yang lebih konservatif untuk meremehkan kepemimpinan perempuan. Hal ini bisa menghambat partisipasi politik perempuan dan memperkuat gagasan bahwa laki-laki lebih berhak atau lebih mampu dalam peran kepemimpinan.
Pesan yang disampaikan pasangan Harda-Danang ini jelas merupakan strategi politik yang tidak etis dan merugikan. Alih-alih mempromosikan visi dan program kerja yang relevan bagi masyarakat, mereka justru menggunakan retorika seksis untuk mengalihkan perhatian publik. Gender seakan-akan menjadi faktor utama dalam menentukan kualitas pemimpin. Perlu kita ingat, semua perwakilan dari pihak laki-laki maupun pihak perempuan bebas mengambil peran menjadi seorang pemimpin tanpa unsur pembedaan.
Indonesia adalah negara yang memberi hak kebebasan, terutama hak bebas dari diskriminasi, sesuai bunyi pasal 28I ayat (2) UUD NRI 1945: “Setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”. Dengan pemberlakukan undang-undang tersebut, diharapkan semua pihak saling mendukung satu sama lain, berkontribusi bersama, membangun masyarakat, dan negara yang lebih baik.
Penulis : Thedora Telaubun dan Angelina Dewi Patricia
Editor: Vicka Rumanti Putri Kinanthi
Referensi :
Drianus, O. (2019). HEGEMONIC MASCULINITY: Wacana Relasi Gender dalam Tinjauan Psikologi Sosial. Psychosophia Journal of Psychology Religion and Humanity, 1(1), 36–50. Diakses pada tanggal 7 November dari https://doi.org/10.32923/psc.v1i1.867
Sari, L. G., Rozikin, M. (2022). Analisis Peranan Perempuan dalam Pembangunan Politik Berwawasan Gender: Studi Dokumentasi Tentang Gender di Indonesia, (04) 05, 929
Agustin, Rosalind. D., Ma’rufah, Inayatul (2024) MENGANTISIPASI DISKRIMINASI KESETARAAN GENDER DALAM MEWUJUDKAN KESETARAAN GENDER. PROSIDING SEMINAR NASIONAL UNARS, v.3, n. 1, 46-50.
Rahmatunnisa, M. (2016). AFFIRMATIVE ACTION DAN PENGUATAN PARTISIPASI POLITIK KAUM PEREMPUAN. JWP (Jurnal Wacana Politik), 1(2). Diakses pada tanggal 7 November dari https://doi.org/10.24198/jwp.v1i2.1104
Soetjipto, A. W. (2023). Perempuan Muda dan Partai Politik: Dari Descriptive Participation menuju Substantive Representation Young Women and Political Parties: From Descriptive Participation to Substantive Representation.