Satu hari, tiga hari, lima hari, satu minggu. Tidak terasa besok sudah waktunya aku memulai kembali rutinitas biasa yang sangat menguras tenaga itu. Semua sudah siap untuk dibawa mulai dari pakaian, barang-barang yang aku perlukan di kos, dan bekal perjalanan, tetapi…. 

“Nak tunggu, kamu belum pamitan sama ibu kok udah mau berangkat aja. Ini sekalian ibu kasih uang buat bekal perjalanan.”

Yap, seperti biasa tidak lupa uang cash yang selalu ibu berikan setiap aku akan kembali ke perantauan tempatku belajar. Memang sih sekarang sudah serba cashless, tapi ibu selalu berpikir bahwa uang cash akan selalu dibutuhkan.

“Ya sudah Bu, aku berangkat dulu, sudah jam segini takut ketinggalan kereta. Itu ojek online-nya juga sudah sampai,” ujarku sembari berpamitan mencium tangan ibu.

“Kamu hati-hati ya, Nak. Belajar yang sungguh-sungguh di sana, jangan sering bolos, jaga kesehatan juga ya. Di sana enggak ada ibu yang bisa rawat kamu seperti di rumah, lho.” 

Aku hanya menimpali ucapan ibu dengan anggukan dan senyuman, lalu segera berangkat menuju stasiun menggunakan ojek online yang kupesan.

Saat ini di rumah hanya ada ibu yang masih sibuk membereskan rumah setelah digunakan sebagai tempat berkumpul ketika lebaran kemarin. Kakak perempuanku satu-satunya sudah menikah dan tinggal di luar pulau. Lebaran tahun ini dia tidak bisa pulang karena suaminya masih harus bekerja. Belum lagi anaknya. Keponakanku juga masih terlalu kecil untuk diajak mudik jauh. Jadilah aku berangkat ke stasiun sendiri tanpa diantar.

Gimana kak? Posisinya sudah aman, kan?” tanya driver ojek saat aku sudah naik motornya.

Untungnya bawaanku tidak terlalu banyak, hanya satu koper ukuran sedang berisi pakaian dan barang pribadi yang kuletakkan di depanku, serta satu kardus berisi oleh-oleh untuk beberapa teman dekatku di kampus yang diletakkan di depan driver. Oh iya, satu lagi tas selempang kecil berisi barang-barang pokok yang aku butuhkan di perjalanan nanti.

“Sudah Pak, Saya sudah siap. Ayo berangkat sekarang.”

Jarak dari rumah ke stasiun membutuhkan waktu kurang lebih 30 menit. Lumayan lama, sih, tapi untungnya driver ojek kali ini memiliki skill mengendarai motor yang baik, jadi tidak terasa terlalu pegal ketika sampai di stasiun. Sepanjang perjalanan pun pak driver tidak terlalu sering mengajakku berbicara, jadi aku tidak kesusahan untuk menjawabnya.

Aku dan pak ojek akhirnya sampai di stasiun setelah 30 menit perjalanan. Untungnya jalanan tidak terlalu padat seperti kemarin selama 3 hari lebaran. Aku turun dari motor dengan perlahan sambil menurunkan koper, kemudian pak ojek memberikan kardus bawaanku yang ada di depannya.

“Ini barangnya ya Kak, terima kasih, hati-hati di jalan. Jangan lupa dijaga barang-barangnya itu!“ ujar driver ojek dengan ramah kepadaku.

“Terima kasih banyak ya, Bapak juga hati-hati di jalan,” ucapku pada Pak ojek.

Keren juga driver ojek, di siang hari begini dia masih bisa sabar dan ramah kepadaku, bahkan peduli dengan barang bawaanku. Padahal barang bawaanku sangat merepotkannya dalam berkendara tadi. Nanti akan kuberi tip melalui aplikasi untuknya.

Jam di tanganku menunjukkan pukul 13.30, masih ada 30 menit lagi sebelum kereta yang akan kunaiki berangkat. Untung saja tadi pak ojek menurunkanku di pintu yang tepat, jadi tidak perlu berjalan jauh untuk sampai di jalur perhentian kereta. Tidak butuh waktu lama akhirnya aku menemukan gerbong dan tempat duduk sesuai dengan pesananku kemarin. 

Aku pun mulai menata barang bawaanku, duduk nyaman, lalu menggunakan earbuds untuk mendengarkan musik selama 5 jam perjalanan menuju ke kota perantauanku. Ya, terkadang namanya kendaraan umum pasti ada saja potensi kebisingan yang akan menggangguku. Jadi aku mengantisipasinya dengan earbuds agar tidak terganggu. Tepat pukul 14.00 kereta pun berangkat.

Setengah perjalanan sudah terlewati, kereta tiba di stasiun kota sebelah dan tinggal 2 stasiun lagi sebelum aku tiba di kota perantauan. Aku berdiri dan berjalan menuju gerbong makan, mencari segelas kopi untuk mengisi energi. Melalui jendela gerbong, aku melihat di jalur seberang ada anak muda yang diantar oleh keluarganya dan dipeluk hangat sembari berpisah. Ah, pemandangan itu membuat iri saja, seandainya kakak pulang pasti tadi aku tidak berangkat ke stasiun sendiri. Tapi apa daya, kakakku sudah memiliki tanggung jawab lain yang tidak bisa ditinggalkan.

Aku kembali ke tempat dudukku, memutar kembali lagu yang tadi sempat kujeda. Kereta kembali melaju, tetapi perasaanku kenapa makin berat? Satu minggu ternyata cukup membuatku melupakan beratnya kegiatan kampus. Lalu, kupikir 5 jam perjalanan cukup membuat diriku kembali siap untuk menghadapi rutinitas di perantauan. Nyatanya aku justru malah semakin rindu untuk kembali pulang. Pikiranku terus berkutat hingga tanpa sadar tinggal satu stasiun lagi untuk tiba di kota perantauan. 

Sesuai perkiraan, jam 7 malam aku sampai di kota ini, lalu dengan lambat serta berat hati aku mulai mengambil barang-barang dan keluar dari gerbong kereta. Seperti biasa, aku mengandalkan transportasi online, tetapi kali ini aku memutuskan untuk menggunakan taksi daripada ojek motor. Tubuhku sudah lelah dari perjalanan panjang dan pikiran sedang tak karuan karena harus pergi dari rumah lagi. Taksi yang kupesan pun tiba, dan beruntungnya aku kembali mendapatkan driver yang ramah sehingga tidak menambah perasaan kesal. Sepanjang perjalanan menuju kos, aku melihat suasana malam kota yang masih terasa sedikit asing dan membuatku makin tersadar bahwa rutinitas lama sudah kembali. 

***

Sudah empat hari ini sejak kembali dari rumah ibu aku merasa tidak enak badan. Awalnya hanya pusing ringan, batuk, lalu perutku mulai mulas dan susah tidur. Sudah jelas ini karena pola makanku yang berantakan dan tidak sehat di sini. Mumpung jauh dari ibu. Aku awalnya berpikir seperti itu. 

Namun, kini rasanya aku sangat menyesal tidak mendengar semua perkataan ibu. Sekarang kalau sudah sakit seperti ini, semuanya harus kuurus sendiri. Tidak bisa manja dan lemah terlalu lama. 

Hidup di perantauan berarti enggak bisa rebahan seharian, banyak yang harus dikerjakan, mengikuti kelas, mengumpulkan tugas, dan makan pun aku harus mikir sendiri. Aku kuat, aku ini anak rantau. Aku berpikir dan meyakinkan diri. Setiap pagi, aku bangun dengan muka kusut, memaksakan mandi, menyeduh kopi instan, lalu berangkat kuliah dengan langkah yang berat, mencoba duduk dan fokus di kelas meski mata berkunang-kunang. Tidak ada yang tahu aku sedang sakit dan tidak ada yang benar-benar peduli juga.

Sore hari, aku pulang ke kos setelah hari yang panjang, tak ada tawa, hanya lampu redup, dan suara detik jam di dinding. Suhu tubuhku naik lagi, kepala berdenyut, tenggorokan rasanya seperti terbakar, dan sakit perutku semakin menjadi. Aku sudah meminum parasetamol dan obat diare yang tersisa, tapi rasa sakitnya tidak juga hilang. Lalu, aku mencoba berbaring di kasur, memeluk selimut yang rasanya tetap dingin meski tubuhku mulai panas. Sunyi. Tidak ada suara keras dari luar, hanya kipas angin yang berputar pelan dan nafasku yang semakin berat.

Tidak ada aroma masakan ibu dari dapur, suara sendok yang beradu di piring, maupun ibu yang mondar-mandir sambil menyuruhku minum obat. Sekarang, jarak benar benar memisahkan kami lebih dari sekadar kilometer. Ia memisahkan hangat dari peluk dan aku dari ibu. Perutku kosong, tapi untuk bangun saja rasanya berat. Aku menatap langit-langit, kosong, dan yang terlintas cuma satu hal: tangan ibu.

Tangan yang selalu menggenggamku erat, seolah dunia takkan menyakitiku selama aku berada di sisinya. Ibu dulu selalu sibuk menyiapkan sarapan, menyelipkan doa ke dalam lipatan bajuku, dan diam-diam menangis setiap kali aku pergi. Dia tidak pernah jauh dariku, selalu menuntun, memeluk, dan menyelimuti. Tangan yang tak pernah meminta banyak dan selalu membuatku merasa lebih baik setiap kali aku sakit. Itulah mengapa, sejak jauh darinya, aku merasa semakin tidak utuh. 

Dari sela-sela selimut, kugapai ponsel yang tergeletak. Jemariku ragu. Kubuka chat terakhir dengan ibu, lalu kututup lagi. Kutahan. Namun, detik berikutnya, tanpa pikir panjang, aku buka kembali kontaknya dan menekan tombol panggil.

Nada sambung berbunyi. Sekali. Dua kali. Jantungku berdebar-debar, ingin kubatalkan, tetapi sudah terlanjur. Akhirnya, suara ibu terdengar pelan, hangat, seperti pelukan dari jauh.

“Halo, Nak… kok tumben nelpon? Biasanya juga ibu yang nelpon.” 

Hatiku langsung runtuh. Suara yang menenangkan itu langsung meredakan sedikit nyeriku. Aku hanya bisa menangis. Lalu, berkata pelan dan nyaris berbisik.

Bu… aku sakit. Aku pengen pulang, Bu….”

Ada jeda sejenak di ujung sana. Lalu, suara ibu mengeras sedikit dan terdengar cemas.

“Sakit? Sejak kapan, kamu sakit apa? Sudah ke klinik dan minum obat belum? Makan apa tadi?”

Pertanyaan-pertanyaan itu membuat tangisanku semakin menjadi-jadi. Aku menarik nafas pelan.

“Sejak empat hari lalu. Enggak enak badan Bu, mulas, batuk juga. Belum sempet ke klinik, Bu. Tadi makan kok sedikit.”

Hening sebentar. Lalu, suara ibu melembut.

“Astaga Nak, sekarang dengerin ibu, ya. Minum obat, minum air anget, terus istirahat. Kalau besok belum mendingan, harus ke klinik, paham?”

“Iya, Bu….”

“Ibu enggak bisa langsung ke sana, tapi doa Ibu selalu lebih cepat nyampe dari apapun. Kamu yang kuat ya sayang!”

Aku menggigit bibir. Menatap langit-langit kamar sambil memejamkan mata dan dengan suara bergetar menjawab ibu.

“Iya, Bu… makasih ya. Aku kangen.”

“Iya Nak, ibu juga, cepet sembuh biar nanti kita bisa ngobrol lama. Ibu tunggu kabar baiknya besok ya? Peluk dari jauh, Nak.”

Kemudian telepon ditutup.

Aku tersenyum kecil, dengan air mata masih mengalir di pipiku. Sore itu, sakitku belum sembuh. Tapi hatiku terasa jauh lebih ringan. Karena ternyata, gema suara dan doa ibu memang obat paling ampuh untuk rasa sendiri kala merantau.

Penulis: Nathanela Krista L. & Natania Adesty L. 

Editor: Shanty Hendro

Desain: Maria Octavia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *