Gelap dan dinginnya malam seakan menyelimutiku dalam gundahnya hati. Bulan November, bulan yang tak terlupakan dan mustahil untuk terulang. Kutatap lama gemerlap bintang yang menghiasi semesta, berharap kan penuh makna. Tak terasa tatapanku mulai beralih pada lampu-lampu kota yang indah.

Yogyakarta, tempatku merenung. Memandang sinar rembulan di atap tempatku berlabuh. Bayangmu hadir melintas dalam benak. Hanya dirimu seorang yang bisa mengisi hari-hariku menjadi indah. Sejarah kita dimulai dari sini. Tapi, itu hanyalah sebuah angan, angan untuk kembali kepada dirimu.

Aku terus teringat senyum dan tingkah lucumu kala itu. Ingin rasanya aku mengungkapkan isi hati. Isi hati yang memberi tembok besar sehingga menjadi penghalang kita berdua. Kala itu, perselisihan yang membuat kita seperti ini. Ya, perselisihan terbesar antara kita berdua.

Aku sebenarnya sudah tak tahan dengan ini. Pengambilan keputusan dalam diri kurasa sangat dibutuhkan. Terlintas bagiku tuk mengakhiri fondasi yang telah dibangun secara perlahan.

“Sampai sini sajakah hubungan kita? Cerita kita masih tersendat”, curhatku kepada embun pagi yang sudah datang membasahi bumi.

***

Rintik hujan yang berjatuhan seakan bercerita kepadaku bahwa ia mendukung sikapku kepada dirimu. Dirimu yang tak tahu sampai kapan akan terus seperti ini. Ketika aku sudah beranjak dari tempat tidur, aku mulai duduk termenung kembali.

Pepohonan yang lebat seakan mengajakku berbicara. Ia berkata bahwa segala hubungan pasti ada perselisihan. Masalah seperti ini bukanlah hal baru yang ada dalam setiap hubungan. Justru kita sedang diuji oleh sang Pencipta untuk memastikan hubungan ini tetap terjalin mesra.

Jika aku mau cerita, sebenarnya perselisihan ini karena kita masing-masing belum selesai dengan kisah masa lalu. Dalam hubungan ini, tentu hanya ada rasa cemburu yang ditimbulkan dari seseorang. Seseorang yang datang dengan senyum tawa dan bisa pergi meninggalkan luka.

***

Empat bulan sudah hubungan kita berada di ambang kehancuran. tetapi bayangan dirimu terus melekat. Rasanya aku masih terpikat.

Hari-hari kulewati tanpa dirimu. Segala kegiatan yang dulu pernah kita jalani bersama, hilanglah sudah.

Rasa yang bergejolak ini tak dapat kutahan lagi. Ruang rinduku sudah dipenuhi oleh dirimu sehingga membuatku ingin bertemu denganmu.

Tak terasa tangisku pecah, aku kembali di ruang yang sempit ini.

Malam berganti malam, rembulan kian meredup. Bintang-bintang sudah tidak berpijar seperti dulu. Seakan langit malam turut sedih karena diriku. Seketika aku melihat bintang jatuh yang jatuh bersama harapan. Harapanku hanya satu, kamu dan aku tak ada jarak yang menentu.

***

Purnama selanjutnya,

Aku terus mencoba menghubungi dirimu. Dering pertama dirimu tidak terangkat. Harap-harap cemas menyelimuti diriku. Dering kedua, hanyalah suara nada tut tut tut dan nyanyian jangkrik di luar sana yang terdengar dengan nyaring.

Dering ketiga, akhirnya dirimu menjawab panggilanku.

“Ehmmm, aku mau ngobrol sama kamu”, ujarku grogi.

“Boleh, ngobrol aja.”, ujar suaramu yang lembut bagaikan kapas.

“Tapi aku maunya kita ketemuan langsung.”, kataku dengan memelas.

“Oke, aku jemput di rumah ya.”, katamu dengan sigap.

“Aku tunggu yaa.”, kataku dengan senyum lebar.

Tak berselang lama, dirimu pun datang. Ruang sempit ini menjadi saksi awal pertemuan kita. Dan kini, kita dipertemukan kembali.

 ***

Aku dan kamu berkeliling kota. Kita singgah di Malioboro untuk berbincang tentang perbedaan yang membuat jarak kita semakin jauh. Sambil menatap langit malam yang entah mengapa rembulan yang tadinya redup menjadi terang bak di siang hari. Bintang-bintang yang indah menjadi santapan malam kita berdua. Kuceritakan segala yang kurasa saat menatap bulan dan bintang di kesepian malam yang dingin.

Aku tak tahu lagi apa yang harus kuberi untukmu. Kamu rela mendengarkan cerita keluh kesahku. Antusiasme yang tinggi darimu membuat aku makin jatuh hati. Kau menyaksikan dengan seksama setiap kata yang terucap dari mulutku.

Waktupun sudah menunjukkan dini hari. Aku harus pulang, tapi aku belum mau berpisah denganmu. Aku masih ingin duduk manis, mendengarkan cerita impianmu.

Namun karena suatu hal, aku harus pulang. Padahal, rasanya aku ingin selalu berada di dekatmu.

Lega rasanya bercerita tentang hal yang sangat mengganjal di hati. Terutama jawaban-jawaban penuh maknamu yang mencerahkan segala isi pikiran dan kalbuku.

***

Sesampainya di ruang sempitku ini, aku masuk dan duduk termenung. Merenungkan jalan keluar dari permasalahan kita.

“Hanya segini sajakah?”, pertanyaan yang terus terngiang-ngiang di benakku.

Tak lama aku membuka gawaiku dan mulai menelponmu. Dering pertama dan kedua, dirimu tak jua menjawab.

Namun di kali yang ketiga, akhirnya dirimu pun menjawab. Aku menjelaskan perasaanku yang sekarang. Permasalahan yang mengganjal dalam diri. Tapi dirimu selalu menjawab dengan halus dan penuh makna.

Dirimu seakan membawaku untuk melupakan perbedaan itu dan menjalankannya bersama-sama. Entah sudah kali ke berapa aku selalu terbawa oleh nuansa dirimu yang membuatku tak ingin jauh dan melepas dirimu. Malam itu adalah malam paling bahagia yang pernah kualami.

Kamu yang selalu menguatkanku akan adanya perbedaan ini. Sampai sekarang, kita masih bersama dan akan selalu bersama-sama sampai maut memisahkan.

“Perbedaan tetap menjadikan kita untuk selalu bersama”, katamu yang akan selalu teringat dalam ruang memoriku.

Sukacita sekali rasanya bisa berjumpa dengan dirimu. Dirimu yang bagaikan malaikat pelindung yang dikirimkan Tuhan untukku.

“Tuhan kiranya Engkau dapat mendampingi kami dalam memadu kasih, dan semoga hubungan ini dapat bertahan sampai maut memisahkan.” Doa yang tiap malam kulantukan agar doa ini dapat tersemogakan.

Malam sudah terlalu larut untuk menampakkan dirinya, tak terasa sinar mentari hampir menggantikan gelapnya malam. Oh indurasmi, betapa cantiknya dirimu malam ini.

catatan: indurasmi berarti sinar rembulan

Penulis: Theresia Dwi Handayani & Gabriela Irvine Dharma

Editor: Dionisius Yuan Stefanus

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *