Belum lama ini, pemberitaan tentang pemilihan presiden di Amerika Serikat menjadi topik hangat di banyak media. Dalam pemilihan yang berlangsung sejak 3 November 2020 itu, petahana Donald Trump harus bersaing dengan Joe Biden dari Partai Demokrat. Hanya saja, dalam prosesnya, pemilu tersebut menjadi kolaps dan jauh dari indikasi sebagai praktik demokratis. Hal ini dipicu atas tindakan provokatif Trump serta orang-orang dan pejabat terdekatnya. Bahwasanya, Trump dan orang-orangnya itu tidak menerima dan enggan untuk mengakui keunggulan Biden dalam pemilihan presiden tersebut. Bahkan, Trump cenderung berang, hingga kemudian mengonfrontasi pihak Biden dengan klaim-klaim yang tidak berdasar.

Dilansir dari Tempo.co, sekurang-kurangnya ada lima klaim yang dipropagandakan oleh Trump terkait kecurangan yang ada dalam proses pemilihan presiden, antara lain: (1) klaim bahwa telah terjadi “Overvote” di Wayne County, Michigan; (2) klaim bahwa penghitungan suara di Philadelphia County, Pennsylvania tidak sah karena ada suara yang dihitung tanpa kehadiran saksi; (3) klaim tentang pemilu via pos rentan dicurangi, artinya antara surat suara legal dirusak atau surat suara ilegal disusupkan; (4) klaim bahwa alat hitung suara yang dibuat dengan piranti lunak pesanan mantan Presiden Venezuela, Hugo Chavez, yang disinyalir telah dimanipulasi agar merugikan Donald Trump; dan (5) Trump menciptakan keraguan sebanyak mungkin soal hasil pemilu dengan harapan legislatif turun tangan untuk mengubah hasil pemilu.

Meski demikian, dari berbagai klaim dan komentar yang dipropagandakan oleh kubu Trump, justru tidak mengubah hasil pemilihan presiden. Malahan, berbagai pengajuan Trump ke beberapa pengadilan negara bagian terkait kecurangan dalam pemilu banyak mendapatkan penolakan dan beberapa terbukti tidak ada indikasi kecurangan. Sebagaimana dikabarkan oleh CNN Indonesia, pihak Komisi Pemilihan Umum AS (Election Infrastructure Government Coordinating Council) dengan tegas menjawab klaim Trump, bahwa “tidak menemukan bukti” terkait sistem pemungutan suara yang curang.” Pernyataan lembaga semi-pemerintah yang berada di bawah Badan Keamanan Siber dan Infrastruktur (CISA) ini pun turut ditandatangani oleh Direktur Asosiasi Nasional Pemilu AS, Association of Secretaries of State, dan Ketua US Election Assistance Commission.

 Sementara itu, Biden sendiri menanggapi berbagai klaim dan komentar Trump terkait pemilihan presiden AS sebagai sebuah bentuk praktik atau sikap yang tidak bertanggung jawab. Biden juga mengatakan bahwa Presiden AS itu telah mengirim pesan yang merusak, tentang bagaimana fungsi demokrasi kepada seluruh dunia (BBC New Indonesia, 2020).

Galibnya, carut-marut dan kebisingan lantaran persaingan dalam sebuah pesta demokrasi, barangkali tidak menjadi sesuatu yang pelik dan krusial. Ketika kita melihatnya dalam lanskap demokrasi, kebisingan dan carut-marut justru merupakan esensi dari proses demokrasi itu sendiri. Direktur Eksekutif Parameter Politik, Adi Prayitno, menjelaskan bahwa “demokrasi itu pasti berisik dan bising”, dan “demokrasi itu tempat orang untuk ribut, tempat orang untuk berisik” (Narasi Newsroom,2020). Hanya saja, terkait hal tersebut, Prayitno menegasakan bahwa ribut dan berisik yang dimaksud mesti dipahami dan berlangsung dalam koridor demokrasi yang prosedural.

Secara konseptual, demokrasi dipahami sebagai sebuah sistem politik dalam memilih dan menentukan seorang pemimpin politik pada sebuah masa pemilihan (Nugroho, 2012: 2,). Dari konsep ini, secara gamblang dapat dikatakan bahwa peluang untuk terjadinya keributan dan kebisingan dalam sebuah peristiwa demokrasi adalah sebuah keniscayaan. Demokrasi juga memfasilitasi silang pendapat dan menjunjung tinggi kebebasan berpendapat.

Namun, jika memang demokrasi itu bising dan menjadi tempat untuk ribut, apakah kemudian fenomena persaingan ala Trump terhadap Biden menjadi salah satu bentuk proses demokrasi? Untuk menjawab hal ini, kita perlu berangkat dari sejarah panjang demokrasi di Negeri Paman Sam. Dalam tulisan ini, penulis tidak bermaksud untuk mengejawantahkan secara rinci. Setidaknya, kita bisa berpijak pada konsep dan realitas yang esensil dari perjalanan demokrasi di AS. Dengan demikian, kita bisa melihat dan mengevaluasi persaingan Trump dan Biden dalam lanskap demokrasi.

Demokrasi di AS telah mengakar di tengah kehidupan masyarakat sejak dideklarasikannya kemerdekaan pada 4 Juli 1776. Bahkan, demokrasi telah menjadi prinsip pembangunan watak bangsa dan menjadi American Ethos. Dalam bukunya yang berjudul “Democray in America”, de Tocqueville menjelaskan bahwa tidak hanya dalam sistem kenegaraan dan pemerintahan saja, tetapi demokrasi juga mengkristal dalam filosofi bangsa, agama, pluralism cultural, sampai pada kehidupan keluarga sebagai unit terkecil kehidupan kelompok (Badu, 2015: 11). Lebih jauh, Badu menyebutkan prinsip-prinsip demokrasi yang ada di Amerika Serikat. Setidaknya, ada dua prinsip universal atas demokrasi yakni kedaulatan rakyat dan pemerintahan yang demokratis, serta kebebasan dan egaliterianisme.

Dalam demokrasi, kesantunan politik tetap harus tetap dijaga (Nugroho, 2012: 2). Pada konteks pemilu, hal ini juga berlaku. Nugroho (2012), kemudian mempertegas: “… proses kompetisi itu harus tetap dibingkai oleh etika normatif yang mengarah pada terjadinya equlibrium sosial”. Dari pernyataan tersebut, jelas terlihat bahwa konsep demokrasi sebagai sesuatu yang ribut dan bising tidak kemudian dipahami sebagai sebuah situasi ricuh dan tak terkendali; bukan juga sesuatu yang pelik atau muskil. Berangkat dari konsep ini, proyeksi persaingan antara Trump dan Biden tentu jauh dari lanskap demokrasi. Namun, kolapsnya pesta demokrasi pada Pilpres AS 2020 ini tidak kemudian datang dari kedua kubu.

Seperti yang telah disampaikan di awal, kita bisa menemukan dan mengidentifikasi, bahwa demokrasi di AS menjadi kolaps lantaran kubu Trump yang diktatorial. Aksi-aksi yang tidak demokratis termaktub dalam klaim-klaim serta komentar yang tidak berdasar dari Trump. Padahal, ada banyak pihak, termasuk masyarakat Amerika menuntut Trump untuk menerima kekalahannya atas Joe Biden.

Sampai pada titik ini, sejatinya Trump telah melanggar dan mengabaikan prinsip universal dari demokrasi, yang telah tumbuh dan mengakar dalam kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara Amerika. Trump telah mengabaikan konsekuensi logis dari paham demokrasi, yakni kesadaran elite politik dalam membuka ruang publik untuk turut berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan politik. Keengganan Trump untuk menerima kekalahan, dan sikap angkuh untuk selalu menang, seyogyanya telah menunjukan praktik yang tidak demokratis. Dengan kata lain, Trump telah mengabaikan dan menghilangkan hak partisipasi masyarakat atau publik dalam kegiatan politik, seperti menentukan pilihan atas pemimpin politik dalam sebuah pemilu. Dengan demikian, persaingan Trump vs Biden, yang dipenuhi dengan aksi diktatorial dari kubu Trump, pada dasarnya bukan sebuah atau bagian dari proses demokrasi.

Lantas, inikah representasi krisis demokrasi? Pembaca yang budiman dapat menilai dan mengidentifikasi terkait hal ini. Dalam cuplikannya, Narasi Newsroom (2020) menjelaskan beberapa hal yang kemudian menunjukan adanya degradasi dan krisis demokrasi, seperti rendahnya kepercayaan terhadap pemerintah dan politikus, penurunan jumlah keanggotaan partai politik, serta regulasi pemerintah yang dianggap tidak transparan. Di samping itu, sistem demokrasi juga tak luput dari kritik sebagai sebuah sistem yang tidak sempurna. Hal ini disinyalir relevan, mengingat dewasa ini telah lahir pemimpin-pemimpin populis yang anti-sains, dan para politikus yang menolak untuk dikritik serta menampik kebebasan berpendapat.

Oleh: Alfonsus O. Hirlanda’o

Editor: Daniel Kalis

Daftar Pustaka

Badu, Muhammad Nasir. (2015). “Demokrasi dan Amerika Serikat”. Dalam Jurnal The Politics: Jurnal Magister Ilmu Politik Universitas Hasanuddin, Vol. 1, No. 1, Januari.

BBC News Indonesia. Dipublikasikan pada Sabtu, 7/11/2020. “Joe Biden: Trump mengirimkan ‘pesan merusak’ dan ‘akan diingat sebagai salah satu presiden yang paling tidak bertanggung jawab dalam sejarah Amerika’”. <https://www.bbc.com/indonesia/dunia-54848536>. Diakses pada 25 November 2020.

Budiatri, Aisah Putri. (2013). “Pemilu Presiden Amerika Serikat”. Dalam Jurnal Penelitian Politik, Vol. 10, No. 2, Desember.

CNN Indonesia. Dipublikasikan pada Jumata, 13/11/2020. “Tolak Klaim Trump, Pejabat KPU AS Tak Temui Bukti Kecurangan”. <https://www.cnnindonesia.com/internasional/20201113094057-134-569293/tolak-klaim-trump-pejabat-kpu-as-tak-temui-bukti-kecurangan>. Diakses pada 23 November 2020.

CNN Indonesia. Dipublikasikan pada Jumat, 13/11/2020, pukul 20:13 WIB. “Obama: Klaim Trump soal Kecurangan Pemilu Bahayakan Demokrasi”. <https://www.cnnindonesia.com/internasional/20201113121525-134-569382/obama-klaim-trump-soal-kecurangan-pemilu-bahayakan-demokrasi>, diakses pada 25 November 2020.

Narasi Newsroom. Dipublikasikan pada Senin, 26/10/2020. “Demokrasi Itu Gaduh, tapi Kenapa Bertahan dan Dianut Banyak Negara?”. <https://youtu.be/nNMKCKpIsH8>. Diakses pada 26 November 2020.

Nugroho, Heru. (2012). “Demokrasi dan Demokratisasi: Sebuah Kerangka Konseptual Untuk Memahami Dinamika Sosial-Politik di Indonesia”. Dalam Jurnal Pemikiran Sosiologi, Vol. 1, No. 1, Mei.

Pramana, Edy (Ed.). Dipublikasikan pada Kamis, 26/11/2020. “Beda Sikap Hadapi Pilpres, Trump Berang, Biden Lebih Tenang”. <https://www.jawapos.com/internasional/06/11/2020/beda-sikap-hadapi-hasil-pilpres-trump-berang-biden-lebih-tenang/>. Diakses pada 23 November 2020.

Pramadiba, Istman Musaharun (Ed.). Dipublikasikan pada Kamis, 20/11/2020. “Kalah di Pilpres Amerika, Ini 5 Klaim Kecurangan yang Dibuat Donald Trump”. <https://dunia.tempo.co/read/1407318/kalah-di-pilpres-amerika-ini-5-klaim-kecurangan-yang-dibuat-donald-trump>. Diakses pada 23 November 2020.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *