Belum sampai sebulan kita memasuki tahun 2021, Indonesia sudah dibombardir oleh berbagai rentetan tragedi. Mulai dari lonjakan kasus positif COVID-19, gempa yang melanda Sulawesi Barat, banjir di Kalimantan Selatan, erupsi yang terjadi pada Gunung Merapi dan Semeru, serta jatuhnya pesawat Sriwijaya Air SJ-182. Sebelum memulai tulisan ini, izinkan saya mengucapkan bela sungkawa terhadap semua korban dan anggota keluarga yang ditinggalkan.
Pada editorial kali ini, saya tidak akan membahas semua kejadian tersebut. Secara khusus, tulisan ini akan membahas mengenai jatuhnya pesawat Sriwijaya Air SJ-182 dan segala kabar di media yang berhembus setelahnya. Topik ini menarik karena pemberitaan media sempat menimbulkan kegaduhan di lini massa media sosial, utamanya Twitter, karena dinilai terlalu banyak berita “sampah” yang tidak penting dan seolah tanpa empati. Benarkah demikian, dan mengapa media melakukan hal tersebut?
Jatuhnya Pesawat Sriwijaya Air dan Berita di Media
Pertama-tama, mari kita bahas secara singkat tentang kejadian yang menjadi tragedi kelam dalam dunia penerbangan Indonesia ini. Pesawat Sriwijaya Air SJ-182 dengan rute Jakarta-Pontianak, jatuh di sekitaran Kepulauan Seribu setelah lepas landas dari Bandara Soekarno Hatta. Pesawat ini membawa 62 orang, yang terdiri dari 6 awak dan 56 penumpang.
Sampai sini, seharusnya media memberitakan perihal perkembangan terbaru atau wawancara dengan para ahli di bidang penerbangan untuk menganalisis penyebab jatuhnya pesawat. Namun, media justru memberitakan hal-hal yang memancing kening kita untuk berkerut. Coba lihat gambar berikut:
Dari gambar tersebut, kita bisa mengamati suatu pola pemberitaan yang nampaknya telah menjadi ciri khas dari media Indonesia. Bukannya berfokus pada kejadian, tetapi justru keluar konteks dan merambah tak tentu arah. Substansinya juga tidak jauh-jauh dari firasat, kata netizen, salam terakhir, ucapan dari grup Whatsapp, atau kepribadian korban. Dalam salah satu postingan di Instagram @remotivi.or.id, mereka membuat satu kajian menarik tentang hal ini.
Dalam sebuah peristiwa kecelakaan, ada dua cara pemberitaan yang bisa ditempuh. Pertama, liputan yang berfokus pada informasi dasar atau perkembangan kejadian dari kecelakaan itu sendiri. Dalam kasus ini, media bisa memberitakan tentang awal mula pesawat hilang kontak, perkiraan letak jatuhnya pesawat, laporan dari saksi mata, perkembangan proses pencarian, evakuasi korban, dan lain sebagainya.
Kedua, liputan dengan gaya human interest. Liputan jenis ini mengandalkan penggambaran emosi seseorang secara lebih dominan dibandingkan dengan data-data keras. Liputan semacam ini punya peran penting dalam mendekatkan peristiwa kepada publik. Manusia akan lebih mudah untuk merasa “dekat” dengan kisah emosional dibandingkan dengan data dan angka.
Secara sekilas, jika kita melihat pada judul di atas tidak ada yang salah karena mengandung unsur human interest. Masalahnya, konsep peliputan human interest di Indonesia justru tidak mencerminkan kehumanisan itu sendiri. Meski tidak semua, kita akan dengan mudah menemukan berita di media masih menggunakan konsep human interest yang kasar dan cenderung sensasionalistik. Remotivi mengatakan bahwa konsep human interest ini hanya melayani insting paling dasar dari manusia, yakni hasrat mengintip yang diejawantahkan dengan mengobrak-abrik media sosial korban, firasat, ramalan, dan lain sebagainya.
Lebih parahnya, berita-berita yang cenderung bombastis semacam ini justru disukai masyarakat. Hal ini berbahaya karena berpotensi menutup berita lain yang jauh lebih penting. Namun, pernahkah terpikir kenapa media seolah tidak berefleksi dan terus saja melakukan hal ini secara terus menerus?
Media Masa Kini
Pada masa Orde Baru, kontrol pemerintah terhadap media dilakukan dengan sedemikian ketat. Media-media yang kritis terhadap pemerintah harus siap dengan ancaman pembredelan. Hadirnya era reformasi seolah menjadi sinar harapan bagi media untuk lepas dari belenggu Orde Baru, terutama setelah hadirnya UU Pers. Namun, apakah media memang sebebas itu?
Singkatnya, tidak. Pengekangan terhadap media tidak pernah hilang, hanya berpindah tangan. Jika dulu pengekangan dilakukan oleh pemerintah, saat ini yang melakukan adalah para pemilik modal. Media menjadi ladang bisnis untuk mengeruk keuntungan. Ishadi dalam buku Media dan Kekuasaan, mengatakan bahwa ketika jurnalistik dilawankan dengan bisnis, maka jurnalistik kemungkinan besar akan kalah. Inilah yang terjadi saat ini.
Media butuh uang untuk membiayai para jurnalis, staf, dan segala biaya operasional lainnya. Dalam konteks media massa konvensional seperti surat kabar, kita harus membayar untuk bisa membaca. Uang dari pembaca ini menjadi salah satu sumber keuntungan utama dalam kelangsungan operasional perusahaan.
Kondisi sedikit berbeda ketika kita berbicara tentang media daring. Kita bisa membaca berita di media daring tanpa membayar sepeser pun, alias gratis. Lalu dari mana media mendapatkan pemasukan? Salah satu penyumbang terbesarnya adalah iklan. Bagaimana iklan di media daring diperoleh? Mudahnya, semakin banyak tulisan dibaca, maka akan semakin banyak pula iklan yang diperoleh (traffic tinggi). Bagaimana cara mencapai traffic yang tinggi? Kita wajib mengetahui apa yang sedang menjadi tren di masyarakat dan pengetahuan mengenai Search Engine Optimization (SEO). Saya tidak akan membahas terlalu dalam mengenai hal tersebut, tetapi kurang lebih begitulah cara kerja media daring.
Dalam posisi ini, kita tidak bisa serta merta menyalahkan media. Media akan menulis sesuai dengan selera masyarakat. Hadirnya berita-berita bombastis di deretan trending mengindikasikan bahwa masyarakat kita juga suka dengan berita semacam itu. Kini, media tidak lagi punya kekuatan sebesar dulu dalam mempengaruhi agenda publik. Seringkali, medialah yang justru dipengaruhi oleh agenda publik.
Menjadi Pembaca yang Cerdas
Dengan segala kesemerawutan yang terjadi, rasanya terlalu sulit bagi kita untuk berharap pola bisnis media berubah dalam waktu singkat, meski juga tidak menutup kemungkinan. Maka dari itu, cara paling realistis untuk menyikapi kondisi ini adalah dengan menjadi pembaca yang cerdas. Apa saja hal yang perlu kita lakukan untuk menjadi pembaca yang cerdas?
Pertama, seperti yang sudah disinggung di atas, media akan memberitakan apa yang menjadi tren dan banyak dibicarakan masyarakat. Untuk mengurangi potensi adanya berita-berita “sampah” semacam itu, maka kita jangan tergoda untuk mengkliknya. Dengan kita mengklik berita tersebut, maka kita sudah turut serta dalam praktek pelestarian berita “sampah” serta turunnya kualitas jurnalisme di Indonesia.
Kedua, pemilahan media. Tidak semua media menghasilkan berita dengan kualitas buruk. Ada juga media yang cukup “waras” dan memiliki kualitas pemberitaan yang cukup baik. Tinggal pintar-pintar kita saja dalam memilihnya. Alternatif lainnya, kita bisa sedikit mengeluarkan kocek untuk mendapatkan berita-berita terbaik seperti di Kompas.id atau The Jakarta Post.
Salam cerdas!
Penulis: Daniel Kalis
Editor: Alfonsus Irland dan Marsha Bremanda