Ilustrasi pengekangan kebebasan berpendapat
Sumber: shutterstock
Sudah lebih dari satu tahun Pandemi Covid-19 melanda Indonesia. Nampaknya juga belum akan berakhir dalam waktu dekat mengingat adanya lonjakan akibat munculnya varian Delta. Ada banyak nyawa yang sudah menghembuskan nafas terakhir. Ada banyak hal yang harus kita batasi.
Kita tentu sudah lekat dengan istilah isolasi. Kata itu kini begitu populer seiring semakin banyaknya masyarakat yang terkena virus ini. Pandemi memang menuntut kita untuk tidak bisa bersosialisasi seperti biasanya. Masalahnya, ada satu isolasi lagi yang juga kerap muncul belakangan ini, yaitu isolasi berpendapat.
Pandemi dan Isolasi Dua Dunia
Di masa pandemi seperti saat ini, kebutuhan untuk berinteraksi lewat media sosial menjadi jauh meningkat. Data dari YouGov, seperti dilansir Katadata, mengatakan bahwa penggunaan media sosial di masyarakat Asia Tenggara naik hingga 38% di masa pandemi. Data ini tidak mengherankan mengingat media sosial menjadi sarana alternatif bagi masyarakat untuk berkomunikasi dan menyampaikan pendapat.
Namun, kebebasan berpendapat di Indonesia kini berharga lebih mahal. Kondisi ini tercermin dari survei yang dilakukan oleh Lembaga Penelitian Pendidikan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) pada 8-15 April 2021. Seperti dilansir Tempo, survei yang dilakukan di 34 kota di Indonesia ini menunjukkan bahwa sebanyak 52,1% responden setuju bahwa ancaman akan kebebasan sipil meningkat dan memunculkan ketakutan masyarakat untuk berpendapat, berekspresi, dan berserikat.
Ancaman terhadap kebebasan berpendapat ini bahkan terjadi di dua dunia, yakni dunia maya dan dunia nyata. Ada berbagai faktor yang menjadi cikal bakal pengekangan ini. Beberapa masyarakat juga sudah menjadi korban dari “isolasi dua dunia” yang diprakarsai oleh nama-nama besar di Indonesia. Saya akan memulai pembahasan ini dari dunia maya.
Jerat Dunia Maya
Dunia maya kini bukan lagi tempat yang aman untuk berekspresi. Data dari SAFEnet mencatat bahwa pada tahun 2020 yang lalu, setidaknya ada 84 kasus pemidanaan terhadap warganet. Jumlah ini meningkat empat kali lipat dibandingkan dengan tahun 2019 yang hanya 24 kasus. Momok utama dari banyaknya kasus pemidanaan terhadap warganet ini adalah UU ITE.
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau lebih dikenal dengan UU ITE adalah UU yang disahkan di zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sejak awal kemunculannya, UU ini memang sudah menuai banyak kontroversi di masyarakat. Pada tahun 2020, SAFEnet mencatat bahwa dari 84 kasus tersebut, 64 diantaranya terjerat “pasal karet” yang ada di UU ITE. Pasal karet ini adalah Pasal 28 ayat 2 tentang Ujaran Kebencian (27 kasus), Pasal 27 ayat 3 tentang Pencemaran Nama Baik (22 kasus), dan Pasal 28 ayat 1 tentang Kabar Bohong Konsumen (12 kasus).
Jika kita telusuri lebih dalam, kebanyakan dari para korban yang terjerat tersebut berasal dari kalangan yang dikenal kritis. Sebut saja aktivis (15 orang), buruh (4 orang), mahasiswa (4 orang), warga (50 orang), dan lain sebagainya. Menariknya, sebanyak 68 persen pelapor adalah mereka yang memiliki kekuasaan. Dari jumlah tersebut, sebanyak 42 persen diantaranya adalah pejabat publik. Seperti kata Direktur Eksekutif SAFEnet Damar Juniarto, dilansir dari infoindonesia.id, ada kecenderungan bahwa mereka yang kuat melaporkan yang lemah.
Situasi menjadi makin runyam tatkala Kapolri menerbitkan Surat Telegram Nomor ST/1 100/ IVQ /HUK.7.1.2020 pada 4 April 2020. Telegram ini berisi instruksi Kapolri untuk melakukan patroli siber untuk memantau berita opini dan hoaks seputar Covid-19. Selain itu, penargetan juga dilakukan terhadap hoaks terkait kebijakan pemerintah dalam penanganan wabah dan penghinaan terhadap presiden dan pejabat pemerintah. Kapolri juga kembali mengeluarkan Surat Telegram Nomor STR/645/X/PAM.3.2./2020 tertanggal 2 Oktober 2020 tentang respons terhadap penolakan UU Cipta Kerja. Dua Telegram ini oleh masyarakat sering dipermasalahkan sebagai upaya untuk mengekang kebebasan berpendapat. Masih belum cukup sampai di sana, warganet juga dihantui oleh adanya serangan digital. SAFEnet mencatat bahwa pada tahun 2020, sebanyak 44,90 persen serangan digital menyasar kepada kelompok kritis.
Netizen sering mengutarakan ketakutan mereka untuk berekspresi dengan meme. Biasanya meme yang sering digunakan adalah meme mengenai tukang bakso. Apapun itu, segala faktor-faktor di atas menunjukkan bahwa ancaman terhadap kebebasan berekspresi dan berpendapat di dunia maya adalah hal konkret yang terjadi saat ini. Lantas, bagaimana dengan di dunia nyata?
Protokol Kesehatan dan Pembatasan Aksi
Masih ingat dengan demonstrasi menolak UU Cipta Kerja yang dilakukan beberapa waktu yang lalu? Demonstrasi yang terjadi di banyak daerah di Indonesia ini tidak luput dari aksi represivitas aparat. Surat Telegram Kapolri, seperti yang sudah saya sebutkan di bagian sebelumnya, memiliki satu poin penting yakni tidak memberikan izin kepada pengunjuk rasa untuk berdemonstrasi. Alasannya, seperti dikatakan oleh Kadiv Humas Polri Irjen Pol Argo Yuwono, dilansir dari tirto.id, adalah untuk mencegah penyebaran Covid-19.
Alasan tersebut kerapkali digunakan untuk mencegah aksi demontrasi. Dalam konteks tersebut, pemerintah seolah-olah memanfaatkan momentum pandemi untuk “gaspol” menyelesaikan kepentingan pribadi mereka. Mereka duduk dengan santai di balik bayang-bayang pengekangan dan pembungkaman terhadap rakyat.
Pers mahasiswa juga turut terkena dampak. Konflik di Wadas membuat beberapa awak Persma yang ada di sana mendapatkan intimidasi dari aparat. Artikel dari LPM Arena berjudul “Melihat dari Dekat Kekerasan Aparat di Wadas” menceritakan dengan detail bagaimana awak Persma diancam untuk mematikan kamera oleh aparat.
Bagi Persma, ancaman tidak hanya dari aparat, tetapi juga dari pihak kampus itu sendiri. LPM Progres menjadi contoh bagaimana mereka diteror oleh pihak kampus untuk menurunkan berita yang berisi tuntutan aliansi mahasiswa UNAS dan bagaimana tindakan represif dan intimidasi yang terjadi saat mereka menyuarakan aksi. Seperti dilansir persmahasiswa.id, mereka diancam jerat pidana jika tidak menurunkan berita.
Melepas Bungkaman Isolasi
Rentetan penjelasan di atas memang terasa menyesakkan. Di negara yang katanya demokrasi, justru perlahan digerogoti oleh kebijakan-kebijakan penuh represi. Para kelompok kritis mendapatkan tantangan yang begitu luar biasa. Ibaratnya, maju kena mundur juga kena. Mau demonstrasi langsung nanti ditangkap, mau lewat media sosial juga sama saja. Ruang publik lama kelamaan menjadi utopia yang semakin dirindukan.
Tentu, kondisi ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Kebebasan untuk berpendapat, berekspresi, dan berserikat adalah hak warga negara dan dijamin oleh Undang-undang Dasar 1945. Kita perlu mendobrak segala rantai ketakutan ini demi merengkuh kembali kebebasan yang memang seharusnya kita miliki.
Penulis: Daniel Kalis Jati Mukti