Oleh: Jennifer

Corona Virus Desease-19 (Covid-19)  merupakan jenis penyakit menular, yang akhir-akhir ini menimpa masyarakat di berbagai belahan dunia. Penyakit yang disebabkan oleh Virus Corona ini tentu saja menggemparkan seluruh penduduk, terutama mereka yang terserang dan terjangkit virus tersebut. Berbagai sektor seperti kesehatan, ekonomi, dan sosial menjadi lumpuh dan mengalami penurunan produktivitas.

Banyak perubahan yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat setelah munculnya Virus Corona ini. Kegiatan perkantoran dan sekolah terpaksa dilakukan dari rumah, dengan menggunakan media tertentu. Tak hanya itu, dengan adanya pandemi Virus Corona juga memengaruhi cara berkomunikasi di Indonesia. Komunikasi yang awalnya berlangsung secara tatap muka, kini menjadi virtual. Pemerintah mengeluarkan beberapa peraturan, salah satunya adalah imbauan untuk menjaga jarak fisik (physical distancing). Peraturan tersebut mengakibatkan seseorang tidak bisa berkumpul dan berbincang seperti biasanya; harus melalui media tertentu, seperti telepon.

Beralihnya aktivitas dan komunikasi secara tatap muka menjadi virtual tentu tidak akan menimbulkan permasalahan, jika terdapat perangkat yang memadai. Namun pada kenyataannya, perubahan ini akan menimbulkan kesenjangan antara masyarakat kurang mampu dan gagap teknologi. Menurut Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim, setidaknya terdapat tiga hal yang harus diperhatikan agar pembelajaran jarak jauh tidak menimbulkan kesenjangan, di antaranya adalah ketersediaan infrastruktur digital, keterampilan digital, dan karakteristik teknologi (Balazs, 2020).

Pemerintah Indonesia harus menyediakan infrastruktur Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) yang memadai bagi masyarakat. Menurut data International Telecommunication Union (ITU) dan Biro Pusat Statistik (BPS), hanya 40% penduduk Indonesia yang menjadi pengguna internet (Balazs, 2020). Hampir semua operator menyediakan layanan 4G LTE. Namun, kualitas sambungan yang tidak stabil masih menjadi kendala besar.

Keterampilan digital seperti menggunakan komputer dan berselancar di dunia maya menjadi dasar yang diperlukan untuk melakukan komunikasi secara online. Kesenjangan generasi dan ekonomi menjadi faktor yang perlu diperhatikan dalam penyelenggaraan aktivitas online, seperti kegiatan pembelajaran daring. Guru atau dosen yang gagap teknologi dan masyarakat kurang mampu (yang tidak bisa mengakses saluran internet), merupakan contoh kesenjangan dan faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan pembelajaran online.

Kehadiran aplikasi untuk membantu komunikasi digital seperti whatsapp, line, zoom, menimbulkan tantangan baru, karena memiliki karakteristiknya masing-masing. Zoom dinilai lebih kaya akan fitur penyampaian pesan dibandingkan whatsapp. Akan tetapi, menurut Teori Kesempurnaan Media, interaksi tatap muka menjadi medium yang paling kaya dalam mengatasi keambiguan pesan (Balazs, 2020). Sebagus apapun fitur yang diberikan dalam media digital, keterbatasan tidak dapat dihindarkan dalam penyampaian umpan balik dan dalam memberikan interaksi nonverbal.

Memang, manusia terbiasa untuk berkomunikasi secara tatap muka dalam aktivitas tertentu. Munculnya pandemi Covid-19, yang mengharuskan setiap elemen masyarakat berjaga jarak dan melakukan komunikasi secara online, kemudian menjadi satu masalah baru yang timbul dalam kehidupan sehari-hari. Selain aktivitas pembelajaran, kegiatan seperti menjual dan membeli bahan makanan, juga disarankan untuk dilakukan secara daring. Meskipun begitu, banyak pihak keberatan untuk melakukan hal tersebut, karena berbagai alasan, seperti minimnya pengetahuan dalam mengakses internet untuk memasarkan produk dari sisi penjual; permasalahan biaya, seperti penambahan ‘ongkos kirim’ dari sisi pembeli.

Selain itu, komunikasi tatap muka dengan motif silaturahmi dan menjaga tali persaudaraan, kini juga dialihkan menjadi komunikasi virtual. Melalui fitur chat dan video call, seseorang dapat membagikan perasaannya kepada orang lain. Akan tetapi, umpan balik yang diberikan tentu tidak akan secepat komunikasi tatap muka. Lebih jauh, kuota yang memadai dan koneksi internet yang stabil diperlukan dalam proses komunikasi tersebut.

Pada dasarnya, pandemi Covid-19 mengubah cara berkomunikasi, cara berpikir, dan cara bertindak. Keadaan ini kemudaian menuntut setiap individu untuk belajar, perihal komunikasi virtual/online. Meskipun terdapat banyak kekurangan yang muncul, setiap pribadi perlu menyesuaikan diri dan belajar secara bertahap, mengingat hal tersebut tidak dapat dihindari; cara terbaik dalam berkomunikasi di masa pandemi ini. Manusia harus terbiasa dengan kehidupan baru, yang mana segala sesuatunya berlangsung secara online. Bahkan kegiatan bersekolah pun dilakukan secara daring. Siswa yang tidak terbiasa dengan sekolah online tentu akan mengalami kesulitan, khususnya soal perangkat/media, kuota, dan sinyal yang tidak memadai.

 Oleh karena itu, pemerintah perlu memperhatikan ketersediaan jaringan yang cukup untuk akses internet bagi daerah terpencil. Selain itu, masyarakat Indonesia juga perlu menyesuaikan diri terhadap perubahan dan budaya baru yang akan terbentuk dalam sejarah kehidupan manusia saat ini. Memang bukan hal yang mudah, akan tetapi kebudayaan baru tersebut dapat dilakukan dengan proses belajar. Meskipun berbentuk abstrak, budaya terbentuk dalam pikiran manusia. Maka dari itu, kesediaan untuk mengubah pola pikir dan tindakan menjadi sebuah tuntutan, agar budaya komunikasi yang terbentuk dapat terlaksana dengan baik dan tidak mengganggu kehidupan manusia yang dinamis.

DAFTAR PUSTAKA

Balazs, A. (2020, Maret 12). Gagap 3 aspek vital kuliah online di tengah covid-19 bisa perparah gap akses pembelajaran bermutu bagi mahasiswa miskin. Theconversation.com. Diakses dari:  https://theconversation.com/gagap-3-aspek-vital-kuliah-online-di-tengah-covid-19-bisa-perparah-gap-akses-pembelajaran-bermutu-bagi-mahasiswa-miskin-134933

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *