Hembusan angin menyapa lembut kulit wajah kala jendela mobil diturunkan. Tak lupa, rambut yang berterbangan karena ulah angin yang berhembus kencang itu. Matanya terpejam merasakan udara segar yang mulai masuk ke dalam indera penciumannya. Sesekali matanya terbuka untuk mengamati jalanan yang kini nampak berbeda dari terakhir kali ia
datangi.
“Kejora, kepala kamu jangan terlalu keluar, nanti ada mobil yang lewat,” ucap seseorang dari kursi pengemudi. Itu Abdi, ayah dari gadis yang kini tengah memundurkan kepala, menuruti ucapan ayahnya.
Jendela mobil perlahan ia tutup kembali, “Banyak yang berubah di sini, aku seperti baru pertama kali datang kemari,” ujar Kejora sembari memperbaiki posisi duduknya. Kepalanya ia sandarkan pada pundak sang ibu yang duduk di sebelahnya.
“Kampung halaman yang ibu tinggali semasa kecil, sekarang sudah hilang,”
Maya, ibu Kejora mengusap-usap rambut anak satu-satunya itu dengan lembut. Perlahan, membawa gadis dengan mata bak obsidian sebening kristal itu pergi ke alam mimpi.
Kriiet!
Suara mobil milik mereka berhenti begitu sampai di tempat tujuan. Nampak dari jauh, seorang bocah laki-laki dengan senyuman manisnya berlari mendekat ke arah mobil yang Kejora dan keluarganya tumpangi. Jemarinya berkali-kali mengetuk jendela mobil.
“Kejora!” Teriaknya dari luar, membuat gadis yang namanya dipanggil tersentak dan membalas dengan senyuman yang tak kalah hangat. Bahkan dari matanya saja, sudah nampak dengan jelas jika kalau keduanya saling merindu.
Tangannya bergerak untuk segera membuka pintu mobil, ingin memeluk erat laki-laki yang tengah menunggunya dari luar tersebut. “Jora, pelan pelan nak. Nanti terjatuh,” peringat ayahnya. Begitu keluar, keduanya langsung berpelukan untuk menyalurkan rasa rindu. “Sam, aku kangen banget sama kamu,” teriak Kejora bahagia. Tak ingin kalah, “Aku juga rindu
kamu, Kejora,” balasnya berteriak.
Namanya Samudera, laki-laki berumur 10 tahun yang merupakan anak dari tetangga dari kakek dan nenek Kejora. Keduanya sudah berteman sejak pertama kali Kejora datang kerumah kakeknya. Kedekatan ini dipengaruhi oleh jarak umur keduanya yang tidak begitu jauh, hanya terpaut satu tahun.
“Kejora, jangan main terlalu jauh! Jangan pulang terlalu larut!” teriak Maya melihat anak semata wayangnya yang kini berlari kecil bersama sahabatnya. “Iya, nanti aku pulang bersama Samudera,” teriak Kejora dari kejauhan. Maya hanya bisa menggelengkan kepalanya, sambil tersenyum menatap punggung Kejora yang semakin lama semakin hilang dari pandangannya.
Setiap kali datang kemari, raut wajah bahagia itu selalu Kejora tunjukan. Kebahagiaan gadis kecil itu nyatanya memang ada di tempat ini.
Tepi pantai, tempat yang wajib hukumnya mereka datangi pertama kali jika Kejora datang. Membuat istana pasir, bermain ombak, tidak lupa mengumpulkan kerang untuk dikoleksi. Semua itu selalu mereka lakukan bersama, bahkan Samudera yang memang selalu melakukan hal itu tidak pernah merasa bosan menemani Kejora bermain.
Memiliki rumah di pesisir pantai memberikan keuntungan untuk Samudera menikmati indahnya matahari terbenam hampir setiap harinya. Namun, semua itu tidak semenyenangkan saat ia menjalani hari bersama Kejora. Sahabatnya itu selalu membuat hari terasa lebih berwarna dan kebahagiaan itu hanya bisa Samudera rasakan setahun sekali jika Kejora datang.
“Berapa lama?” tanya Samudera tiba-tiba di tengah kegiatan Kejora membuat istana pasir.
“Apanya?”
“Kamu berapa lama tinggal di rumah kakek-nenekmu?” ulang Samudera memperjelas ucapannya. Kejora kemudian menghentikan kegiatannya dan memilih untuk duduk di sebelah Samudera yang sedang menatap lurus ke laut. Kepalanya dimiringkan serta bahunya mendelik tanda tak tahu. “Mungkin tiga hari,” Balasnya ragu. Kejora lupa bertanya pada kedua orang tuanya.
“Tidak bisa lebih lama? Memangnya kamu tidak rindu pada kakek dan nenekmu?” tanya Samudera yang kini memberikan atensi penuh kepada gadis yang memeluk lututnya itu. Bahkan, ia tidak mengedip barang sekalipun sebelum mendengar jawaban dari gadis kecil itu.
“Rindu, aku juga rindu kamu. Tapi kemarin aku dengar ayah bilang kalau ada perjalanan kerja ke luar kota. Mungkin aku di sini cuma sebentar,” Balas Kejora sambil menoleh ke arah Samudera. Membalas tatapan mata yang laki laki itu berikan. Sejenak kedua obsidian cantik itu saling bertemu.
Samudera menghela nafasnya, ia tidak bisa menahan sahabatnya itu untuk alasan apapun. Kemudian kembali menatap lurus ke arah laut. “Kejora, kamu punya mimpi?” ujarnya.
Gadis itu mengangguk dengan semangat, “Punya, aku ingin bertemu sama artis. Aku juga ingin punya rumah sendiri di sini, di sebelah rumah kamu dan tinggal berdampingan sampai tua,” balas Kejora.
“Rumah kakekmu kan sudah di sebelah rumah ku. Untuk apa punya rumah lagi? Buang-buang uang tahu,” jelas Samudera membuat Kejora mengangguk pelan, membenarkan ucapan sahabatnya.
“Kalau kamu? Apa mimpimu, Sam?”
“Bertemu Ayah. Aku ingin melihat ayah sekali saja. Ombak begitu jahat, membuat ayah tidak pernah kembali pulang ke rumah untuk bertemu aku, kakak, dan ibu,” Jawab Samudera dengan kepala menunduk. Samudera hanya tinggal bersama ibu dan kakak laki-lakinya. Ayahnya telah tiada saat ibunya tengah mengandung. Kapal milik ayahnya hancur karena badai saat mencari ikan di laut.
Kejora ikut merasa sedih mendengar apa yang Samudera ucapkan. “Paman sudah ada di surga, berdoa saja semoga paman singgah ke mimpimu malam ini,” balas Kejora mengusap-usap pundak Samudera.
Ranting kayu yang ada di genggamannya ia lempar, “Ayo pulang, sudah sore. Air laut sudah mulai naik,” ajak Kejora dengan tangan kanan yang ia ulurkan kepada Samudera.
“Kamu duluan saja, aku masih ingin di sini,” begitu balasan yang Kejora dapatkan. Mana mungkin ia bisa meninggalkan Samudera sendirian di sini. Ia harus mencari cara agar sahabatnya itu ikut pulang bersamanya.
“Ayah ku tadi membeli daging sapi, hari ini kami akan makan sapi panggang. Memangnya kamu tidak mau?” Rayu Kejora sembari menarik paksa sebelah tangan Samudera agar berdiri. Untungnya, merayu Samudera tidak begitu sulit. Meski terkenal keras kepala, Samudera selalu menuruti apa pun kemauan Kejora.
Jemarinya membalas tautan genggaman hangat dari si gadis periang itu. Keduanya berjalan kembali ke rumah, ditemani langit yang mulai menguning. “Nanti ajak bibi dan kakakmu ke rumah kakek ya! Nanti kita pesta bersama,” Tidak ada balasan, hanya deheman kecil yang terdengar dari laki-laki itu.
Kini, acara makan telah dimulai. Samudera menepati janjinya untuk datang bersama sang ibu dan kakaknya. Mereka semua memang sudah akrab, terlebih lagi mendiang ayah Samudera merupakan teman bermain ibu Kejora saat kecil dulu. Malam ini Samudera nampak sedikit berbeda, menjadi lebih pendiam dari biasanya. Kejora menyadari hal itu, lalu
menyikut pelan laki-laki yang duduk di sebelahnya itu. “Ada apa?” tanya Kejora berbisik.
Gelengan kepala yang ia dapatkan, “Tidak, aku hanya sedang berpikir,” balas Samudera singkat kemudian meneguk sisa minuman pada gelas yang ia pegang.
“Aku mau cari angin di luar dulu,” ucap Samudera pada Kejora. Gadis itu malah menahan sebelah hasta milik laki-laki itu. “Aku ikut,” seru Kejora.
Lagi dan lagi Samudra memberikan gelengan kepala kepadanya. “Jam segini, di luar dingin. Nanti kamu bisa masuk angin,” balas Samudera melepaskan ganggaman tangan Kejora.
“Ibu, aku keluar sebentar, mau cari angin,” pamit Samudera pada wanita paruh baya yang duduk tidak jauh dari tempat mereka. Anggukan kepala dari ibunya menandakan ia mendapatkan izin. Samudera langsung keluar dari rumah tersebut, meninggalkan Kejora yang merenung menatap kepergiannya.
Alih-alih mencari angin, Samudera nyatanya memiliki niatan lain. Kaki pendeknya terus bergerak membawa dirinya menyusuri pantai di malam hari. Matanya menatap lurus ke laut. “Kalau ayah tidak bisa kembali, mungkin aku yang harus menemui ayah secara langsung,” gumamnya pada diri sendiri.
Perlahan, dirinya mulai merasakan dingin ombak yang menyapu kedua kakinya. Melangkahkan diri semakin jauh ke tengah laut, mengikuti insting yang datang entah dari mana. Bahkan tidak menyadari Kejora menyusulnya dari belakang. Panik bercampur bingung, itu yang Kejora rasakan detik itu. Jantungnya berpacu dengan sangat kencang. Ia bahkan tidak tahu harus berbuat apa.
“SAMUDERA!”
“Samudera, kembali! Kamu mau kemana?” teriakan demi teriakan Kejora lontarkan. Namun, tidak ada balasan sama sekali. Panggilan Kejora seperti angin lalu bagi Samudera.
“Ayah, Ibu, Bibi! Tolong Samudera!” teriak Kejora lebih kencang berusaha mencari bantuan. Bahkan, ia kini merasakan kakinya yang mulai dingin saat bersentuhan dengan air laut. Berusaha mengejar Samudera yang sudah begitu jauh.
Terlambat, Samudera telah hilang dari pandangannya. Hilang dan pergi bersama gelombang laut yang membawanya menuju samudera luas.
“SAMUDERA!”
Deru nafasnya tidak teratur begitu ia membuka mata, “Kejora? Kamu mimpi buruk nak?” Tanya sang ibu melihat wajah Kejora yang dipenuhi keringat dingin. Jemari Maya mulai menghapus air yang bercucuran di dahi anaknya itu. “Rindu Samudera, hm?”
Ternyata ia hanya bermimpi. Semuanya terasa sangat nyata. Rasanya, ia tidak ingin kehilangan Samudera untuk kedua kalinya. Walau nyatanya, Samudera sudah pergi meninggalkannya sejak dua tahun yang lalu. Tidak hanya Samudera, ombak besar yang Samudera benci kini telah menyapu bersih semua kebahagiaan Kejora di tempat itu, termasuk kakek dan neneknya. Semuanya dibawa pergi tanpa kembali sama sekali. Seperti namanya, ia telah menyatu dengan Samudera nan jauh disana.
Sudah dua tahun berlalu semenjak tsunami menghancurkan kota kecil di pesisir pantai itu. Kejora merasa semuanya hanya mimpi buruk yang tidak akan pernah berakhir. Ia bahkan tidak percaya bahwa hari ini untuk pertama kalinya setelah kejadian itu, ia kembali, untuk berziarah ke makam kakek dan neneknya.
Satu hal yang Kejora tahu, Samudera berhasil mencapai mimpinya. Ia telah pergi menyusul ayahnya, meninggalkan Kejora dengan segudang mimpi yang ingin ia wujudkan bersama Samudera.
“Selamat Samudera, kamu berhasil mencapai mimpimu lebih dulu.”
Penulis : Frisca Sarastuti Amandari
Editor : Fransisca Diva Ayu Pradipta