Suasana RTHP Brontokusuman, salah satu ruang terbuka hijau yang ada di Kota Yogyakarta. Foto: harianjogja.com

Dalam beberapa tahun terakhir, Yogyakarta terus berkutat dengan masalah minimnya Ruang Terbuka Hijau (RTH). Mengapa permasalahan ini tak kunjung usai dan bagaimana solusi dari pemerintah untuk menambah jumlah RTH?

Ruang Terbuka Hijau (RTH), mengacu pada UU No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang diartikan sebagai, “area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam”.

Undang-undang tersebut juga membagi RTH menjadi dua jenis yaitu RTH publik dan RTH privat. RTH publik dimiliki dan dikelola oleh pemerintah daerah kota serta digunakan untuk kepentingan masyarakat secara umum. RTH publik dapat berbentuk taman kota, taman pemakaman umum, serta jalur hijau sepanjang jalan, sungai, dan pantai.

Sementara itu, RTH privat dimiliki dan dikelola oleh individu/instansi di luar pemerintah daerah. RTH privat dapat berupa kebun atau halaman rumah/gedung milik masyarakat/swasta yang ditanami tumbuhan.

Pada Pasal 29, tertulis jelas bahwa setiap wilayah kota wajib memiliki paling sedikit 30 persen RTH dari luas wilayah kota. Jumlah tersebut terdiri dari 20 persen RTH publik dan 10 persen RTH privat.

Bagaimana dengan kondisi di Kota Yogyakarta?

Minim dan Tak Sesuai Target

Luas administratif Kota Yogyakarta adalah 32,5 kilometer persegi. Artinya, mengacu pada UU Penataan Ruang, seharusnya terdapat minimal 6.500 meter persegi RTH publik dan 3.250 meter persegi RTH privat di Kota Yogyakarta.

Sementara itu, data dari Dinas Lingkungan Hidup Kota Yogyakarta pada tahun 2016 menunjukkan hasil sebagai berikut:

Sumber: Dokumen Rencana Strategis Perangkat Daerah (Renstra) Dinas Lingkungan Hidup Kota Yogyakarta 2017 – 2022.

Dari data tersebut, terlihat bahwa luas RTH di Kota Yogyakarta hanya 18,77 persen dari luas wilayah. Jumlah ini masih jauh dari target minimal 30 persen yang diamanatkan dalam undang-undang. 

Dari persentase tersebut, sebanyak 12,93 persen merupakan RTH Privat dan 5,83 persen merupakan RTH Publik. Artinya, jumlah RTH Privat sebenarnya telah melewati batas minimum. Permasalahannya adalah pada RTH Publik yang masih jauh dari target.

Ada beberapa permasalahan yang menghambat penambahan ruang terbuka hijau di Kota Yogyakarta.

Tabel 1. Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kota Yogyakarta Tahun 2009 – 2011

NoTahunLuasan Taman (m2)Jumlah Pohon Perindang (batang)Luasan RTH (%)
1200956.8625.05831,65
2201060.6598.15831,99
3201162.30510.34132,86
    Sumber: Badan Lingkungan Hidup Kota Yogyakarta 2011

Dari data tersebut, kita bisa melihat bahwa jumlah RTH di Kota Yogyakarta pernah mencapai target yang diamanatkan dalam undang-undang. Namun, mengapa kini menjadi menurun?

Faktor pertama adalah adanya perubahan aturan mengenai kriteria penentuan ruang terbuka hijau. Kepala Bidang Keindahan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Yogyakarta Indiah Widiningsih pada Sabtu (29/7/2017), seperti dilansir bisnis.com, menjelaskan bahwa acuan awal yang digunakan merujuk pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 1996.

“Luasan RTH di Kota Yogyakarta dikoreksi menjadi 18,76 persen karena aturan terbaru merujuk pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 5 Tahun 2008,” kata Indiah. 

Dalam aturan tersebut, jalan sudah tidak termasuk lagi dalam kriteria ruang terbuka hijau. Inilah alasan mengapa luasan RTH di  Kota Yogyakarta menurun drastis. 

Faktor kedua adalah alih fungsi lahan dari RTH menjadi fungsi lahan yang lain. Faktor ini menjadi perhatian Pemda dan secara khusus diatur dalam Pasal 19 Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 17 Tahun 2021. Pada pasal tersebut tertulis, “RTHP tidak dapat dialihfungsikan, dikecualikan alih fungsi RTHP dikarenakan kondisi alam”.

Fungsi Penting Ruang Terbuka Hijau

Penambahan ruang terbuka hijau di Yogyakarta perlu terus digalakkan mengingat banyaknya manfaat yang bisa diperoleh. Hal ini diamini oleh Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Jogja, Suyana.

“Selain fungsi ekologis, Ruang Terbuka Hijau Publik (RTHP) juga memiliki fungsi sosial yang besar,” ungkapnya seperti dilansir harianjogja.com. 

Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa RTHP dapat digunakan masyarakat Jogja untuk bersosialisasi, tempat bermain anak-anak, lapangan untuk olahraga, dan gazebo untuk bapak-bapak saat malam hari. 

Dalam Perwali Kota Yogyakarta juga dijelaskan lima fungsi RTHP yang meliputi: pengendalian pencemaran dan kerusakan tanah, air, dan udara; sarana perlindungan bagi plasma nutfah dan keanekaragaman hayati; pengendalian tata air; sarana estetika kota; dan sarana interaksi sosial. 

Sebagai sarana interaksi sosial, RTHP dapat digunakan untuk berbagai kegiatan seperti olah raga, kesenian, taman bermain, serta pertemuan masyarakat. 

Upaya Menambah Jumlah RTH

Suyana mengatakan bahwa pihaknya telah menargetkan pembangunan lima titik RTHP setiap tahunnya. “Namun, kendalanya adalah Jogja merupakan kota yang sudah jadi, bukan kota yang sedang berkembang, sehingga susah untuk didesain ulang khususnya RTHP,” jelasnya. 

Kendala lainnya adalah mahalnya lahan untuk pengadaan RTHP. “Kami menargetkan ada RTHP di setiap kampung meski dengan luas yang terbatas,” ujar Suyana. 

Ia juga menjelaskan bahwa pada tahun 2019 sudah ada beberapa RTHP yang selesai dibangun. RTHP tersebut berada di Kelurahan Wirogunan, Purwokinanti, dan Pandeyan. 

Suasana RTHP di Kampung Surokarsan, Wirogunan yang diresmikan pada tahun 2019. Foto: Jatmika H.Kusmargana/cendananews.com

Rencananya, pada tahun 2020 Pemda Kota Yogyakarta akan membeli tiga lahan di Sorosutan, Ngampilan, dan Pakuncen untuk pemenuhan kebutuhan RTHP. Luas tanah masing-masing adalah 332, 430, dan 768 meter persegi dengan alokasi anggaran sebesar Rp6 miliar. 

Namun, Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pertanahan dan Tata Ruang Kota Yogyakarta, Edy Hary Suasana seperti dilansir harianjogja.com pada Senin (10/8/2020), mengatakan bahwa  pembelian ini ditunda hingga tahun 2021 karena anggaran pengadaan lahan digunakan untuk penanganan Covid-19. 

Hingga tahun 2020, luas RTH di Yogyakarta baru mencapai 23 persen dengan proporsi 15 persen RTH Privat dan 8 persen RTH Publik.

*Tulisan ini merupakan reportase tindak lanjut lokakarya: Digitalisasi Media Pers Mahasiswa yang diselenggarakan oleh PPMI Nasional

Penulis: Daniel Kalis Jati Mukti

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *