Penulis: Cokorda Agung Istri Wedawati
“Myra masih bertahan di urutan pertama tangga lagu, sudahkah kalian mendengar lagu manis ini?”
Pip!
Aku mematikan televisi yang sedang menyiarkan peringkat lagu di Gahon Chart, aku tak terlalu tertarik untuk menontonnya walau ucapan selamat terus masuk ke emailku.
Sekarang pukul delapan pagi dan apartemenku masih berantakan, tak berubah dari yang kuingat semalam. Ah, benar, Jennieta belum pulang dari dinas luar kotanya.
Aku harus merapikan semua ini, tapi rasanya malas sekali.
Aku pun berbaring di sofa sembari memikirkan sarapan apa yang akan mengisi perutku pagi ini. Namun, tak ada makanan yang rasanya bisa menaikkan nafsu makanku. Aku pun menghela nafas, kemudian memalingkan wajahku pada kalender di dekat televisi.
Tanggal 2 Maret 2018.
Ah, benar sekarang tanggal 2 Maret. Mungkin aku akan tidur sebentar, setelah itu aku akan mulai membersihkan apartemenku.
Entah angin dari mana, aku bisa merasakan sapuan angin di badanku. Padahal aku ingat pintu balkon belum kubuka.
“Papa!”
Aku membuka mata dan menemukan anak perempuan sedang berjongkok melihatku. Ia mengenakan piyama putih favoritnya hari ini. Ya, anak perempuan dengan mata bulat ini adalah putri semata wayangku.
“Selamat pagi, Myra,” sapaku sambil tersenyum.
“Selamat pagi, Papa!” sapanya ceria. Kemudian Myra berdiri menatap kesal ke arahku.
“Papa kenapa tidur lagi?” tanya Myra kesal.
“Papa hanya lelah, boleh ya lima menit lagi,”
“Tidak boleh, ayo Papa bangun!” Myra mulai menarik-narik tanganku agar bangkit.
Aku rasa aku tak punya pilihan lain sambil menurutinya. Aku pun bangkit lalu memeluk Myra sebagai tanda selamat pagi lainnya. Menggemaskan. Padahal umurnya sudah enam tahun tapi dia masih saja menggemaskan.
“Aaaaa!! Papa stop!” Myra memukul-mukul pundakku agar berhenti memeluknya.
Aku melepaskan pelukanku, dan menatap wajah Myra yang sangat mirip dengan Ibunya. Tanganku terulur untuk merapikan rambut panjangnya.
“Wah lagu Papa nomor satu lagi!” serunya saat melihat majalah di meja.
“Kamu senang?” tanyaku sambil menatap wajahnya yang bersemu karena senang.
“Tentu saja, orang-orang jadi mengenal namaku.”
Aku tersenyum melihatnya membaca halaman majalah yang dari lusa lalu tak pernah kusentuh.
“Papa tampan sekali di sini,”
Aku melongokan kepala ikut melihat foto mana yang ia maksud. Itu adalah sebuah foto promosi single terbaruku. Sebenarnya tak ada yang istimewa.
“Papa tampan disana?” tanyaku.
“Iya, baju Papa bagus dan Papa juga memakai make-up yang sangat cocok dengan temanya,” jawabnya antusias.
Aku tertawa kecil. “Kamu suka?”
“Suka, tapi…”
Aku terdiam ketika mendengar dia menggantungkan kalimatnya. “Tapi?”
“Senyum Papa terasa palsu, Papa seolah tidak rela untuk tersenyum. Senyumnya jadi terkesan sedih. Coba senyum yang baik!”
Dua telunjuk Myra menekan sudut bibirku agar aku tersenyum. Melihatnya yang nampak kesal membuatku tertawa kecil.
“Nah, sekarang jauh lebih bagus!”
Aku mengelus pucuk kepala Myra sambil mengingat proses pemotretan tersebut.
“Papa aku lapar!”
Aku terkejut karena Myra berseru tiba-tiba. “Ah benar kita belum sarapan, kira-kira apa yang enak?”
“Pancake!” Myra berdiri sambil mengacungkan tangannya ke udara.
“Pancake?”
“Iya, pancake dengan banyak krim dan sirup maple, aku juga mau stroberi!”
Aku mengingat-ingat apakah aku memiliki bahan-bahan membuat pancake. Karena merasa lengkap semua, aku pun berdiri.
“Ayo membuat pancake!” ajakku.
“Ayo!”
Aku mengajak Myra ke dapur untuk mulai memasak pancake kesukaannya. Aku pun mengeluarkan tepung jadi pancake, lalu telur, susu dan wajan untuk memanggang pancake.
“Aku mau bantu juga!” Seru Myra.
Aku mengangguk kemudian mengambil sebuah celemek kecil dari lemari.
“Pertama pakai ini,” ujarku sambil menyuruhnya mendekat.
Aku memakaikan Myra celemek yang merupakan hadiah dari adikku saat ulang tahun Myra yang keempat.
“Oke sudah!”
Myra tersenyum melihat dirinya yang mengenakan celemek. Aku pun mulai memasak pancake.
Saat akan memecahkan telur, aku melihat Myra menarik kursi dan naik ke kursi tersebut. Meja di dapur memang lebih tinggi darinya.
“Aku! Aku mau memecahkan telur!” seru Myra.
Aku memberikan telur dan mangkok yang kupegang. “Hati-hati, jangan sampai ada cangkang yang masuk.”
“Okie doki!”
Aku melihat Myra yang lihai memecahkan telur. Setelah dua telur dimasukkan ke dalam mangkok aku pun memeriksanya.
“Oke pintar, sekarang aduk telurnya,” kataku.
“Dikocok?” Tanyanya.
Aku mengangguk dan memberikan sebuah alat pengocok kecil. Ia pun tersenyum dan mengikuti perintahku.
“Sudah!” Serunya.
“Oke sekarang masukkan susu,” kataku sembari memberikan gelas ukur yang sudah terisi susu sesuai takaran.
Myra mengangguk dan menuangkan susunya pelan-pelan.
“Setelah itu dikocok lagi,” kataku.
Myra semakin lihai mengocoknya. Sambil membiarkan Myra mengocok telur dan susu, aku mulai mengayak tepung pancake siap saji.
“Sudah tercampur rata?” tanyaku pada Myra.
“Sudah!” Myra tersenyum.
“Baik sekarang masukan tepung ini,” kataku sembari memberikan tepung yang sudah diayak tadi.
“Semua?” tanya Myra.
“Iya semua.”
Myra mengikuti intruksiku kemudian mengaduk semua menjadi satu. Begitu adonan sudah siap, aku pun menyiapkan wajan dan menyalakan kompor.
Begitu wajan panas aku mulai menuangkan adonan sedikit demi sedikit. Karena posisi kompor lebih tinggi dari Myra, membuat putriku itu melompat-lompat kecil. Aku tertawa renyah, lalu menggendongnya.
“Lihat, ada lubang-lubang kecil di pancakenya,” kataku.
“Wah!”
“Itu artinya pancakenya akan segera matang, jika lubang-lubangnya sudah merata baru kita balik pancakenya.”
“Papa lihat itu sudah banyak lubangnya!”
Aku pun membalik pancakenya dengan tangan kanan, karena tangan kiriku sedang menggendong Myra.
Terlihat warna kecokelatan yang cantik pada pancakenya.
“YEAYY!”
Kami pun bersorak girang, kemudian kembali melanjutkan memanggang adonan yang masih banyak.
“Papa,” panggil Myra yang masih dalam gendonganku.
“Hm?”
“Papa, orang-orang mengatakan jika aku mirip sekali dengan Mama.”
“Iya, Papa juga sering mendengarnya.”
“Tapi katanya dari semua wajahku, hanya mataku yang tidak mirip Mama. Mataku mirip Papa!”
“Oh ya?” aku pura-pura bertanya, karena sebenarnya aku sudah tahu jelas bahwa mata bulat itu mirip denganku.
“Iya!”
“Coba kita periksa.”
Aku pun berjalan menuju cermin wastafel, kemudian merapatkan wajah Myra dengan wajahku.
“Benar kan?!” serunya.
“Iya benar, Myra kamu mencuri mata Papa.”
Kemudian aku menggelitiki leher Myra hingga membuatnya tertawa terbahak-bahak. Aku sangat senang ketika Myra tersenyum dan tertawa begini.
“PAPA PANCAKENYA!”
Benar saja, pancake itu berubah menjadi hitam legam. Setelah itu aku dan Myra fokus memanggang adonan yang tersisa.
Begitu siap, aku menyajikan pancake yang sudah dihias dengan krim dan sirup mapel juga stroberi kesukaan Myra. Aku membawa piringku dan piringnya ke meja depan televisi.
“Papa bukankah lebih enak jika ditambahi es krim?” tanyanya.
“Iya, tapi kita tidak memiliki es krim saat ini.”
“Bagaimana kalau aku pergi membelinya di mini market dekat sini?”
“Nope. Ingat saat Papa di luar kota, Mama bercerita kamu diam-diam pergi ke mini market sendiri dan tidak kembali lagi, Mama benar-benar marah saat itu.”
Myra tertawa kecil. “Hahaha maaf Papa.”
“Lain kali Myra, kalau Myra memang ingin keluar bilang saja ya? Biar Papa atau Mama menemani.”
“Oke Papa!”
Kami pun menyantap pancake buatan rumah tersebut. Rasanya enak, mirip dengan pancake yang biasa kumakan di restoran hotel. Aku tersenyum melihat Myra yang makan dengan lahap. Rambut hitamnya panjang, membuat sehelai dua helai rambut kadang masuk ke mulutnya. Melihat itu aku bangkit dan mengambil karet rambut di meja nakas dekat sofa, kemudian mengikat rambut Myra. Setelah itu aku lanjut makan di sebelahnya.
“Papa quotes itu apa?” tanya Myra yang sedang membaca buku favoritnya di depan televisi.
Aku yang tadi sedang memejamkan mata di sofa, kini menatap Myra yang memandangku dengan tatapan bertanya.
“Quotes ya? Hmm..” aku memikirkan penjelasan yang sederhana agar mudah dipahami Myra.
“Quotes itu mirip kata-kata yang sesuai dengan keadaan seseorang,” jawabku.
“Kata-kata cantik?”
“Iya mirip.”
Myra mengangguk. “Oke aku mengerti. Quotes favorit Papa apa?”
Aku membalikkan badan menghadap Myra sambil memikirkan kata-kata favoritku.
“Ada, Papa punya satu. Berhenti tenggelam dalam masa lalu, karena masa depan mungkin bisa saja lelah menunggu.”
Myra terdiam sambil menatapku. “Aku tidak paham.”
Aku tertawa. “Nanti ketika kamu sudah besar kamu akan paham.”
Aku pun mulai memejamkan mata, merasakan angin berhembus lagi. Rasanya nyaman sekali, hingga bisa saja aku tertidur saat ini.
“Papa mengantuk?” tanya Myra.
“Iya, Papa boleh tidur ya?” kataku.
Aku merasakan Myra mendekat dan mengelus-ngelus dahi serta rambutku.
“Boleh, tapi nanti Papa harus bangun lagi ya?” kata Myra.
“Iya, Papa janji,” jawabku.
Aku semakin terlena dengan suasana. Angin sejuk yang menyapuku, kemudian tangan kecil yang halus mengusap rambutku lembut.
“Papa aku suka lagu Papa yang baru, aku tidak terlalu paham arti liriknya, rasanya Papa seperti menulis surat cinta untukku hehehe.”
“Oh ya?”
“Iya. Papa itu tampan kalau tersenyum, jadi Papa harus sering senyum.”
“Baik, apa lagi tuan putri?”
Terdapat jeda yang lumayan lama disana. “Papa, nanti sampaikan maafku untuk Mama ya. Maaf untuk tidak kembali saat itu.”
Aku tidak bisa merasakan apa-apa lagi. Rasanya aku sedang terbang di awan-awan. Aku rasa aku benar-benar tertidur saat ini.
“..eo!”
“Theo!”
“THEO!”
Aku terbangun mendengar suara berat yang mengudara di apartemenku. Aku melihat wajah adikku di depanku, ia memasang wajah kesal seperti biasanya.
“Kau habis minum semalam? Kenapa susah sekali membangunkanmu? Lalu lihat jam berapa ini, sudah tengah hari dan kau masih dalam piyama?!”
Kepalaku pening mendengarkan ocehan adikku. Ia laki-laki tapi banyak omong. Aku melihat sekeliling dan menemukan apartemenku yang masih berantakan.
Aku melihat adikku yang memakai setelan kerjanya, ia membawa sebuket bunga lily.
“Kenapa kemari?” tanyaku.
“Istrimu meneleponku saat rapat, ia bilang suaminya sama sekali tidak membalas pesan atau pun mengangkat telepon sejak kemarin malam,” jelasnya panjang lebar.
“Ohh.”
Aku pun bangkit dan menatap langit biru yang nampak cerah. Aku menunduk untuk mengambil ponselku yang entah kenapa bisa tergeletak di lantai.
“Theo tadi aku ke makam, dan tak menemukan bunga disana, kamu belum kesana?” tanya adikku.
Aku tak menyahut dan fokus pada ponselku, aku sedang mencari kontak istriku, Jennieta. Sambil berjalan ke balkon aku mulai meneleponnya.
“Wah kau masak pancake? Aku boleh memakannya?”
“Ambil saja,” sahutku dari balkon.
Ponselku terus berbunyi nada sambung, aku menunduk dan menemukan potongan kertas koran yang sudah lama. Sebuah headline berwarna merah.
Kecelakaan Truk di Depan Mini Market Menewaskan Dua Pengguna Jalan Termasuk Putri dari Penyanyi Terkenal.
“Halo Theo?” sebuah sapaan terdengar dari ponselku.
“Hai.”
“Kau kemana saja? Aku benar-benar khawatir kau tahu itu? Aku terus dihubungi manajermu, ia menanyakan kau di mana!”
“Maaf.”
Kemudian terdengar suara helaan nafas khas Jennieta. “Aku sedang di perjalanan menuju acara penutupan, nanti malam aku akan pulang. Kau sudah makan?”
Aku tak menjawab dan malah menerawang pemandangan kota yang terhampar di hadapanku.
“Halo Theo?”
Apartemen di gedung mewah bintang 5 menjadi bukti kesuksesanku di umur 27 tahun. Selanjutnya masih banyak yang menungguku di depan.
“Theo kau disana?”
Padahal aku yang mengatakan untuk meninggalkan masa lalu, tapi aku sendiri yang masih tenggelam.
Air mataku tiba-tiba jatuh, tanpa aku pinta.
“Jennieta.” Panggilku.
“Ya?”
“Aku sangat merindukan Myra.”
Sepenggal lirik Myra terdengar mengudara.
Aishiteru yo Myra, Myra
(Aku mencintaimu Myra, Myra)
—
Inspiration:
Lagu; Myra – Tani Yuuki
—
Penulis: Cokorda Agung Istri Wedawati
Editor: Daniel Kalis