Judul : Penyalin Cahaya
Jenis Film : Drama
Penulis : Raphael Wregas Bhanuteja dan Henricus Pria Setiawan
Sutradara : Raphael Wregas Bhanuteja
Produksi : Rekata Studio, Kaninga Pictures
Pemain : Shenina Syawalita Cinnamon, Lutesha, Chicco Kurniawan, dkk
Durasi : 130 menit
Spoiler Alert : Artikel ini akan membahas alur cerita dari film Penyalin Cahaya beserta isu kekerasan seksual yang mungkin akan mengganggu ketenangan dari beberapa pihak
Film Penyalin Cahaya ini sukses digarap oleh sutradara yang terhitung masih muda, yakni Wregas Bhanuteja berusia 30 tahun. Melalui debut film panjang perdananya ini, ia berhasil memperoleh penghargaan dari gelaran Piala Citra FFI (Festival Film Indonesia) 2021 sebagai sutradara dan penulis skenario terbaik. Tidak hanya itu, film ini juga berhasil membawa pulang 11 piala lainnya dari 17 nominasi yang film ini dapatkan serta sukses tayang di Busan International Film Festival 2021. Tentunya, hal inilah yang membuktikan film Penyalin Cahaya bisa dikategorikan sebagai film yang sukses.
Film ini berbicara tentang perjuangan Suryani -diperankan oleh Shenina Cinnamon- dalam mencari kebenaran terhadap pelecehan seksual yang ia peroleh. Cerita ini berawal, ketika dia memulai dunia perkuliahannya dan bergabung dengan teater Matahari. Sur menjalani teater ini dengan senang karena ia bergabung dengan teater yang terkenal di kampusnya. Hingga suatu saat, ia dijebak oleh Rama -diperankan oleh Giulio Parengkuan- untuk meminum alkohol yang ternyata sudah dicampur dengan obat-obatan terlarang. Setelah kejadian itulah, dunia Sur runtuh seketika. Hal ini dikarenakan ia mengalami pelecehan seksual pasca ia meminum alkohol tersebut. Momen pelecehan seksual ini ternyata direkam dan diunggah oleh Rama melalui media sosial milik Sur.
Ayah Sur yang selama ini mendukung Sur pun menjadi berbalik dan mengusirnya dari rumah karena kejadian ini. Sur dianggap sudah melanggar aturan yang dibuat oleh ayahnya. Tidak hanya itu, beasiswa Sur pun ditarik dari pihak kampus dengan alasan “tidak berkelakuan baik”. Hal inilah yang membuat Sur bertekad kuat untuk memperjuangkan hak beasiswa dan sekaligus mencari bukti tentang pelecehan seksual yang diperolehnya. Hanya Amin -diperankan oleh Chicco Kurniawan- teman Sur sejak kecil yang mau menerima Sur. Namun ternyata, Rama mendapat obat-obatan terlarang dari Amin. Hal ini menjadi problematika baru yang muncul dalam pikiran dan perasaan Sur yang berkecamuk.
Perjalanan dalam memperjuangkan kebenaran yang dilakukan Sur tidaklah mudah. Namun, dengan segala lika-liku yang ada, ia bersama Farah -diperankan oleh Lutesha Sadhewa- selaku korban pelecehan yang tidak berani untuk “speak up” dan juga dibantu oleh Jerome Kurnia yang juga menjadi korban pelecehan dari Rama dan geng-nya, akhirnya Sur dapat membongkar kebejatan yang dilakukan oleh Rama.
Film yang telah menyabet 12 penghargaan ini, memang patut diacungi jempol. Gaya khas dari sutradara Wregas Bhanuteja, menambah keseluruhan film ini menjadi semakin menarik. Dari segi akting para pemeran film ini pun, mereka dapat dikategorikan bermain dengan baik. Walaupun, masih ditemui ada beberapa karakter yang ekspresinya datar. Hal ini membuat suasana yang dibangun dalam beberapa adegan film menjadi agak kurang mantap untuk dinikmati. Namun, dengan alur yang dikemas secara menarik dan dibalut dengan isu-isu yang dekat dengan kita, film ini semakin bisa dimaknai dan dinikmati oleh para penonton.
Film ini menekankan tentang isu kekerasan seksual yang terjadi di kampus. Usaha kampus dalam melindungi dan membantu korban pelecehan dan kekerasan seksual sangatlah minim. Malah hampir tidak ada usahanya sama sekali. Menurut data dari Komnas Perempuan yang kami ambil dari situs VOA Indonesia, persentase kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan pendidikan sebesar 87,91%. Perguruan tinggi menempati urutan pertama untuk kekerasan seksual dengan 35 kasus pada tahun 2015 hingga 2021. Kasus-kasus itu hanya yang tercatat oleh Komnas Perempuan. Sementara, tidak sedikit pula korban kekerasan seksual yang tidak berani untuk melapor. Para korban terhambat dengan regulasi kampus atau dengan pelaku yang memiliki relasi kuasa yang tinggi. Tentunya hal ini menjadi tamparan keras bagi kampus, agar mereka bisa mengetatkan lagi regulasi dari Mendikbud tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di lingkungan Perguruan Tinggi. Namun realisasinya, masih banyak kampus yang tidak memiliki Standar Operasional Prosedur (SOP) yang tepat untuk pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual ini.
Jika kita melihat kembali ke dalam film, Sur sama sekali tidak mendapatkan bantuan dari pihak kampus mengenai pelecehan seksual yang dialaminya. Pihak kampus terkesan diam dan malah membungkam Sur selaku korban. Pihak kampus juga ingin menutupi kasus ini guna menjaga nama baik kampus dan nama baik Teater Matahari yang akan berangkat ke Kyoto, Jepang untuk pentas di sana. Kembali lagi, hal ini sangat erat di kehidupan kampus sekarang. Ketika ada korban dan atau orang yang berusaha menguak kasus ini malah dibungkam atau bahkan dikeluarkan dari kampus. Terakhir, secara keseluruhan, film ini juga sangat direkomendasikanuntuk ditonton bersama dengan keluarga. Banyak pesan moral dan makna mendalam yang disisipkan dalam film ini. Salah satunya seperti pembekalan bagi anak-anak yang hendak menuju ke dunia perkuliahan. Selain itu, film ini juga memiliki alur cerita yang mudah dimengerti, tetapi tidak menghilangkan esensi dari isu kekerasan seksual yang ingin diangkat.
Penulis: Dionisius Yuan Stefanus dan Devina Chan
Editor: Henrikus Harkrismoyo Vianney