Suasana PKL di Alun-Alun Kota Madiun, Jawa Timur (27/02). Teras Pers/Yosafat Bayu

Pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai cara agar penyebaran Covid-19 dapat segera terkendali. Pola-pola preventif terus diuji coba sebagai suatu upaya untuk menemukan cara yang paling efektif demi menurunkan angka konfirmasi pasien yang terjangkit Covid-19. Bila merunut kembali ke belakang, banyak istilah yang dilahirkan oleh pemerintah mengenai kebijakan pengendalian sebaran kasus Covid-19 yang acap kali membuat masyarakat bertanya-tanya. Dimulai dari istilah PSBB atau Pembatasan Sosial Berskala Besar yang mulai diberlakukan pada tanggal 1 April 2020 di beberapa daerah dengan kasus konfirmasi positif Covid-19 tinggi. Kebijakan inilah yang menjadi cikal bakal pembatasan kegiatan masyarakat di seluruh Indonesia, hingga muncul istilah “work from home” ataupun “study from home”. Seluruh fasilitas publik juga dibatasi kapasitasnya bahkan ada juga yang ditutup secara total. Berlanjut di medio Juni 2020, muncul istilah AKN atau Adaptasi Kebiasaan Baru sebagai bentuk penanggulangan kelesuan perekonomian Indonesia. Namun karena dirasa kasus penyebaran Covid-19 di Indonesia tidak kunjung membaik, pemerintah kembali meluncurkan kebijakan baru pada Januari 2021 dengan istilah baru PPKM atau Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat.

Di balik riuh pemerintah dalam menyusun strategi untuk memutus mata rantai penyebaran Covid-19, tak hanya pemerintah saja yang dibuat pusing. Ada banyak pihak yang juga harus berkali-kali memutar otak, agar tetap dapat bertahan dari kekacauan yang disebabkan oleh pandemi Covid-19. Terlebih dalam beberapa kebijakan pemerintah, ada yang mengatur mengenai pembatasan jam malam dan pembatasan kapasitas pengunjung di fasilitas publik. Salah satu kalangan masyarakat yang sangat terdampak dengan kebijakan tersebut adalah mereka yang bekerja sebagai PKL (Pedagang Kaki Lima).

PPKM Mencekik PKL

Pada periode awal pemberlakuan kebijakan PPKM, diatur mengenai pembatasan jam malam yang tidak memperbolehkan segala bentuk kegiatan yang berpotensi mengumpulkan massa diatas jam 19.00. Maka dari itu, seluruh toko, pusat kuliner, dan pusat perbelanjaan harus segera tutup sebelum waktu yang ditetapkan. Hal ini tentu sangat memberatkan bagi para PKL yang kebanyakan baru menggelar dagangannya pada sore hari.

“Sangat memberatkan sekali. Apalagi kita-kita ini yang modelnya angkringan ya pasti buka menjelang sore. Kalau waktu itu tutup jam 7 malam sangat berat. Jualan masih belum banyak yang laku.” Ujar Pak Muklis, salah satu PKL yang berdagang di wilayah Lapangan Gulun, Kota Madiun.   

PKL Menjajakan Dagangan di Lapangan Gulun, Kota Madiun, Jatim (27/02) YOS

Salah satu langkah yang harus ditempuh Pak Muklis untuk menyiasati kebijakan tersebut adalah dengan membuka dagangannya lebih awal dan berjualan dari rumah. “Mau tidak mau ya harus jualan dari rumah sama buka gasik (lebih awal), Mas. Biasanya jam 5 sore baru mulai, jadi jam 12 siang. Sekalian bareng jam makan siang, masiyo (walaupun) dagangannya kurang cocok, siang-siang kok buka angkringan,” lanjut Pak Muklis diiringi dengan gelak tawa.

Bu Kaslan yang juga seorang PKL penjual Batagor di sekitar Alun-Alun Kota Madiun, merasakan hal yang sama pula. “Makin nelangsa, Mas. Belum apa-apa sudah harus pulang. Tapi ya saya tidak bisa menolak, daripada gerobak saya diangkut petugas”. Sebagai informasi, Kota Madiun merupakan salah satu wilayah di Jawa Timur yang harus melakukan PPKM secara ketat sejak akhir Januari 2021 atas arahan dari gubernur.

PKL Bertahan Menghadapi Pandemi dan PPKM

Pemberlakuan PPKM memang sangat berdampak bagi perekonomian masyarakat yang menggantungkan hidup dengan menjadi PKL. Dana insentif yang diberikan oleh pemerintah belum mampu menutupi modal berjualan sehari-hari para PKL. “Saya sampai harus memecah tabungan yang seharusnya buat bayar kuliah anak saya. Jualan turun terus, ndak mampu nutupi modal dagang. Harus jungkir balik saya cari duit,” ungkap Pak Kasim yang juga berjualan di Alun-Alun Kota Madiun.

Saat ini, pemberlakuan jam malam memang sudah diperpanjang hingga pukul 21.00, tetapi ternyata hal ini belum cukup untuk menambal modal dagang para PKL. Menanggapi permasalahan ini, para PKL terus mencari cara yang efektif agar dapat menambah uang hasil jualan. “Dulu saya hanya menetap disini, Mas. Tapi, sejak ada aturan itu (PPKM), saya terpaksa harus pindah-pindah. Kalau disini sudah sepi, pindah ke tempat lain yang lebih ramai,” tutur Pak Muklis.

Cara jemput bola tersebut setidaknya lebih manjur diterapkan untuk mengatasi sepinya pembeli di masa PPKM. Selain itu, ada cara unik lain yang dilakukan oleh Pak Kasim dengan saling membeli barang dagangan dari PKL lain. “Kan saya jual siomay, Mas. Kalau ndak habis ya kadang selain dibagikan ke tetangga, dimakan sama keluarga. Tapi kalau setiap hari begini terus kan ya bosan Mas. Jadi kadang sama bakul (pedagang) lain itu saling beli. Ada Tahu Petis ya dibeli, terus nanti dia beli dagangan saya. Sudah biasa, Mas, jadi lebih akrab,” ujar Pak Kasim.

“Waktu itu PKL sempat dikumpulkan untuk ngomong modal, tapi kalau terus bergantung dari bantuan, ya agak sulit, Mas,” ungkap Bu Kaslan. Beliau juga menuturkan bahwa adaptasi yang harus dilakukan adalah dengan mencoba berjualan secara daring. Walaupun ia mengakui bahwa sangat sulit awalnya untuk menjajakan produk makanan, tetapi ia tetap mencoba sedikit demi sedikit. “Apa wae tak lakoni, Mas (Apa saja saya lakukan, Mas), yang penting setiap hari bisa makan,” tambahnya.

Reporter: Yosafat Bayu Kuspradiyanto  

Editor: Daniel Kalis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *