Hari raya Idul Fitri telah tiba. Salah satu kegiatan yang sering dilakukan saat hari raya ini adalah membagikan uang kepada sanak saudara.Beberapa orang memanfaatkan momen Idul Fitri untuk mencari nafkah dengan menjadi penyedia jasa penukaran uang baru. Jasa penukaran uang tersebut biasanya berada di pinggir jalan dekat dengan bank-bank yang menjadi tempat penukaran uang. Di Yogyakarta, para penyedia jasa penukar uang kerap dijumpai di sepanjang Jalan Panembahan Senopati. Sementara di Jakarta Pusat, keberadaan
mereka kerap dijumpai di sepanjang Jalan Gajah Mada.
Menjual Uang demi Kebutuhan Ekonomi
Salah satu penyedia jasa penukaran uang baru ini adalah Dedi (38) yang berasal dari dari Yogyakarta. “Jasa ini sudah saya buka sepuluh hari menjelang lebaran dan akan tutup pada saat malam takbiran. Biasanya saya mulai dari jam tujuh pagi hingga jam sepuluh malam,” ujar Dedi kepada Awak Teras, Selasa (11/05/2021). Dedi dengan dibantu oleh rekannya Arif (28), menjalankan profesi ini bermodalkan penghasilannya sendiri. Dari modal tersebut lalu ditukarkan menjadi uang baru yang kemudian dibungkus rapi menggunakan plastik bening. Uang-uang ini lalu ditata rapi di atas meja kecil atau motor milik mereka dan dipasang spanduk yang bertuliskan “Jasa Penukaran Uang Baru”. Mereka lalu melambaikan tangan ke jalan untuk menarik minat pengendara. Tidak hanya itu, mereka juga menjajakan jasa penukaran uang baru ini sampai ke Kulon Progo. Pandemi menjadi salah satu alasan mereka untuk melakukan pekerjaan ini demi mencari uang tambahan untuk mencukupi kebutuhan keluarga.
Hal yang sama juga dialami oleh Roni (25), salah satu penjual jasa penukar uang baru yang diwawancarai oleh awak Teras di Jakarta Pusat, Selasa (11/05/2021). Sebelum adanya pandemi, ia bekerja sebagai kurir faktur pajak. “Biasanya saya mulai turun ke jalan dua belas hari sebelum lebaran, dari pukul delapan pagi hingga sepuluh malam. Alasan saya mau kerja kayak gini sih buat mencari kesibukan saja, daripada di rumah suntuk lumayan dagang bisa dapat rokok,” ujar Roni. Demi mencukupi kebutuhan ekonomi keluarganya, ia rela menjalankan profesi tersebut dan menghabiskan waktunya dari pagi sampai sore di bawah terik matahari. “Kalau untuk sistemnya saya pinjam uang dari Om saya Mas. Jadi Om saya setiap hari kasih uang ke Saya sudah berupa uang baru. Habis itu Dia biasanya ambil untung 5% dari hasil penjualan,” ujar Roni.
Tuntutan ekonomi juga menjadi alasan utama Anastasia (46), seorang ibu dari Jakarta Barat untuk rela bekerja di Jakarta Pusat sebagai penjaja jasa penukaran uang. “Saya rela mas kerja kayak begini dari jam sembilan pagi sampai jam tujuh malam untuk menyekolahkan empat anak saya sendirian karena bapaknya sudah meninggal,” ujarnya.
Untung yang Diraup
Menurut mereka, keuntungan dari jasa penukaran uang ini cukup besar. “Lumayan lah Mbak untuk tambahan, untungnya 10%, tapi kadang ya ditawar paling rendah jadi 7%. Setidaknya sama-sama mau dan diuntungkan saja,” ujar Dedi. Sedangkan Arif mendapatkan upah seikhlasnya karena ia membuka jasa ini untuk membantu tetangganya yang berada di Kulon Progo. Hal ini dikarenakan bank yang berada di Kulon Progo sudah tidak lagi membuka jasa penukaran uang. “Kalau upah saya gak banyak, paling hanya uang bensin saja. Walaupun jauh dan dapat upahnya cuma dikit, tapi lumayan buat tambahan karena saya juga sudah berkeluarga, punya anak dan istri,” ujar Arif.
Profesi penukaran uang baru ini juga terkena dampak dari adanya pandemi Covid-19. “Kalau tahun ini menurun banget Mas, biasanya sehari bisa laku enam juta sampai tujuh juta, kalau sekarang paling dua juta sampai tiga juta,” ujar Roni. Menurutnya, penurunan penghasilan ini mencapai 50%.
Resiko dan Tantangan
Kesulitan yang mereka hadapi sebagai jasa penukaran uang adalah adanya pembatasan penukaran uang di bank sebesar Rp3.370.00,00 per KTP. Selain itu, waktu yang dihabiskan untuk mengantri juga cukup lama yakni satu sampai lima jam. Menariknya bahkan sebelum bank dibuka, banyak orang sudah rela mengantri. “Orang kan maunya praktis, adanya kami ini memudahkan mereka yang mau tukar uang,” ujarnya. Dengan begitu uang yang mereka dapatkan adalah uang asli dari bank.
Dedi juga menjawab stigma masyarakat yang mengatakan bahwa jasa penukaran uang ini ilegal. Ia mengatakan bahwa selama mereka menjual jasa sebagai penukar uang baru tidak pernah diamankan oleh Satpol PP. Mereka hanya sebagai perantara untuk menukarkan uang lama menjadi uang baru secara cepat dan tanpa antri. “Resmi kok karena uangnya juga diambil dari bank resmi, daripada antri di bank itu lama malah menimbulkan kerumunan,” tambahnya.
Menurut mereka, resiko dari penjualan jasa penukaran uang baru ini adalah mendapatkan uang palsu. “Kalau saya sudah tau cara membedakannya, dengan cara memperhatikan gambar garudanya, rasanya keset apa engga, diterawang, dan kalau diremas itu gampang balik berarti uangnya asli,” ujar Anastasia. Bermodalkan pengetahuan tersebut penjual jasa penukaran uang baru dapat mengetahui cara membedakan uang asli dan palsu sebagai bentuk antisipasi mengatasi masalah serupa.
Penulis:
- Fransisca Diva
- Natania Valentine
- Heinrich Terra
Editor: Daniel Kalis