Pulau Dewata Bali, selain terkenal dengan objek wisatanya, juga menyimpan banyak karya seni yang menarik untuk dikupas. Provinsi yang juga akrab dengan sebutan Pulau Seribu Pura ini memiliki beragam jenis tari tradisional yang sampai saat ini masih ramai digeluti oleh masyarakat Bali. Salah satunya Dhea, seorang gadis kelahiran Denpasar yang tertarik pada dunia tari tradisional Bali. Gadis dengan nama lengkap Ni Luh Putu Pradiayu Aspariyanthi ini mengutarakan kecintaannya pada tari Bali bermula sejak ia berumur 4 tahun. Ia mulai mempelajari tari Bali secara otodidak dengan menyaksikan tayangan di Bali TV, salah satu saluran daerah Bali yang menampilkan beragam tarian Bali setiap minggunya.
Dhea menjelaskan bahwa tari Bali sejatinya terdiri dari tiga kategori tarian tradisional yang dapat dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Pertama, Tari Wali yang disakralkan dan tujuan pementasannya khusus untuk upacara keagamaan saja. Tari jenis ini memiliki makna tertentu pada setiap daerah di Bali, sebab biasanya tari yang disakralkan di suatu lingkungan memiliki latar belakang kepercayaan umat yang beragam. Contohnya Tari Topeng Sidakarya sebagai penutup dalam upacara keagamaan.
Kedua, Tari Bebali yang sifatnya semi formal. Tujuan dipentaskannya jenis tari ini yaitu sebagai pelengkap upacara keagamaan dan bersifat opsional. Contohnya seperti Tari Gambuh dan Tari Baris. Ketiga, Tari Balih-balihan yang diambil dari kata ‘balih’ yang dalam bahasa Bali artinya ‘tonton’. “Kalau Tari Balih-balihan ini sifatnya untuk menghibur atau tontonan bagi masyarakat,” ujar Dhea dalam wawancara dengan awak Teras pada Jumat, (6/10/2020). Ia memberi contoh yang termasuk dalam jenis tari ini adalah Tari Kembang Girang, Janger, dan Joged Bumbung.
Dhea mengungkapkan bahwa kecintaannya pada tari Bali tidak memihak pada salah satu kategori saja. Pengalaman yang ia miliki sejak berumur enam tahun mengikuti sanggar tari pun membantunya untuk terus mempelajari tari apapun yang akan dibawakan. Salah satu pengalaman menarik yang dibagikannya yaitu ketika ia menarikan Tari Baris Kekupu. Tarian ini hanya boleh dipertunjukkan untuk upacara keagamaan yang disucikan atau dalam istilah Bali disebut ‘odalan’. Tari ini dipercaya merupakan warisan leluhur yang menggambarkan gerak-gerik kupu-kupu yang berterbangan bebas dan saling bercengkerama di taman bunga.
Selain itu, ia juga pernah membawakan Tari Legong yang termasuk dalam kategori Tari Balih-balihan. Tari Legong merupakan tari yang diiringi musik gamelan Semar Pagulingan dengan gerakan lemah gemulai yang menirukan irama pengiringnya.
“Yang paling Dhea inget waktu umur tujuh tahun, Dhea tampilin Tari Kembang Girang. Kembang Girang itu menceritakan tentang pemudi yang sedang kasmaran.” ujar Dhea ketika menceritakan pengalamannya yang lain dalam menari Bali.
Meski disebut sebagai tari tradisional, Tari Kembang Girang dipadukan dengan unsur modern. Tari ini merupakan tari tradisional yang dibawakan penari dengan balutan busana kekinian. Tari ini ditujukan untuk memberi energi kebahagiaan kepada penonton dengan gerakan yang sangat dinamis.
Selain berkecimpung dalam penampilan tari, Dhea juga mengikuti komunitas tari yang ada di lingkungan tempat tinggalnya. Komunitas di Sanggar Tari Putri Ayu dan Banjar Gaduh (cara untuk menyebut Rukun Warga di Bali) merupakan komunitas yang cukup aktif dalam dunia seni tari tradisional. Dhea dipercaya untuk menjadi tenaga pendidik seni tari di banjarnya. Istilah ini disebut sebagai ‘ngayah’ atau melakukan pekerjaan secara sukarela untuk mengajar anak-anak yang belum pernah menari sebelumnya.
Dhea mengutarakan bahwa di tengah maraknya budaya luar yang diadopsi sebagian masyarakat Indonesia, ia lebih memilih untuk bergerak dalam bidang tari tradisional. Hal ini didasari oleh kebiasaannya untuk menari dan mempelajarinya sejak kecil. Baginya, seni tari tradisional ini membuatnya bangga dan mengapresiasi kebudayaan Bali.
“Mari kita sama-sama tumbuhkan kesadaran bahwa kita hidup di negara yang kaya. Kaya akan alam, kaya akan budaya. Wajib hukumnya untuk menjaga dan melestarikan, supaya kekayaan tersebut bisa tetap eksis. Kita akan terus tergerus oleh perkembangan zaman, jadi sudah seharusnya kita memikirkan cara untuk menjaga kebudayaan agar tidak hilang. Kalau bukan kita, siapa lagi yang akan menjaga?” tutup Dhea sekaligus sebagai pesan bagi generasi muda untuk melestarikan warisan budaya lokal Indonesia.
Penulis: Jennifer
Editor: Marsha Bremanda